Loading Now

Aku dan Masa Bodo (Eksistensialisme Dalam Buku Seni Untuk Bersikap Bodo Amat)

 

20200903_145327_0000 Aku dan Masa Bodo (Eksistensialisme Dalam Buku Seni Untuk Bersikap Bodo Amat)
Sumber Gambar : Canva

Pendahuluan
Sebagai makhluk yang saling membutuhkan satu sama lain, setidaknya manusia hadir sebagai realitas makhluk sosial yang tidak bisa dibantah lagi keberadaannya. Tidak mengherankan jika Al-Farabi dan juga diikuti oleh Karl Marx juga bersepakat bahwa manusia sebagai realitas yang riil, namun juga sebagai person yang membutuhkan satu sama lain. Teori-teori sosial yang klasik yang membahas mengenai manusia setidaknya tidak lepas dari kedua tokoh tersebut inspirasi mengenai hubungan dan interaksi manusia.
Sedangkan interaksi manusia sendiri, tidak hanya bersifat bertemu secara fisik (physical) namun sekarang ini bisa dilakukan dengan social media yang sekarang semakin canggih dengan berbagai aplikasi dan fitur yang menarik di dalamnya. Tidak heran, jika di masa pandemi saat ini orang-orang lebih banyak menggunakan media sosial ketimbang bertemu dengan orangnya langsung, meskipun dengan beberapa konsenkuensi.
Meskipun dengan menggunakan media sosial, setidaknya hubungan manusia akan tetap terjalin meskipun seseorang tersebut sudah tidak berada di satu tempat. Hal ini yang sering dianggap sebagai kemudahan untuk menjalin komunikasi yang sempat terbatas karena pandemi ini. Hal inilah yang dianggap sebagai momentum untuk memperbaiki hubungan meskipun dengan bertatap muka lewat ponsel pintar ataupun tablet pintar.
Namun pada kenyataan yang ada, semakin sering seseorang menggunakan media sosial terkadang ada juga yang lebih memilih untuk menjadi seorang yang anti sosial di dunia kenyataannya, dan lebih bersikap bodo amat dengan realitas yang ada di sekitarnya. Hal ini pasti adanya sebab mengapa ia lebih memilih untuk menjadi pribadi yang anti sosial dan tertutup, setidaknya dilihat kembali pergaulan seseorang, jika di sekitarnya menganggu dirinya maka ia akan lebih tertutup. Maka dari itu ia lebih memilih untuk bersikap bodo amat dengan dunia sekitarnya.
Eksistensialisme Dalam Hidup Manusia
Pada dasarnya apapun dan bagimanapun mengenai hidup kita ini, setidaknya manusia memiliki jawaban atas dirinya sendiri. Meskipun jawaban tersebut melahirkan dua gagasan yaitu Hidup Manusia sebagai Pilihan, kemudian Hidup manusia sebagai Tanggung Jawab. Kedua argumen tersebut mengingatkan saya dengan perdebatan yang begitu menyentrik antara kedua sahabat saya yaitu Muhaimin dan Abdusolah Ridho’i yang selalu mempertanyakan mengenai kehidupan manusia yang secara hakikat mendekati kebenaran, apakah ia pilihan atau tanggung jawab?
Mungkin kedua argumen tersebut ada benarnya juga yang satu mendekati Liberalisme, karena ia bersifat memilih berdasarkan keinginannya sendiri, satunya lagi berdasarkan pikiran Konservatif yaitu berdasarkan tanggung jawab dan norma yang berlaku. Ketika argumen tersebut terbentur dengan pemahaman yang sebenarnya sangat memiliki nilai tersendiri, dan pada akhirnya ada sebuah paham yang seperti menyatukan keduanya yaitu Eksistensialisme.
Paham Eksistensialisme ini bisa dikatakan menyatukan kedua argumen tersebut, maksudnya adalah bahwa segala sesuatu berpusat (subjek) pada manusia itu sendiri ia melakukan dan ia sendiri yang bertanggungjawab atas pilihannya sendiri. Hal ini meningatkan saya kepada salah seorang filsuf yang berpengaruh saat itu seperti Søren Kierkegaard dan Jean Paul Sartre, kedua tokoh ini bisa berpengaruh mengenai eksistensialisme.
Jean Paul Satre, ketika saya mengingat nama ini selalu teringat dengan anekdot kehidupan yang diungkapkannya, jika pilihan ada dua maka setidaknya kita hanya bisa memilih salah satunya dan bertanggungjawab atas pilihan tersebut. Saya ambil contoh sederhana antara ingin pergi kuliah ke luar negeri dengan mengurus Ibu yang sudah tua. Jika kita mengambil kuliah di luar negeri, maka konsenkuensinya Ibumu akan tinggal di rumah dan mungkin tidak akan bertemu lagi setelah itu. Akan tetapi, jika ia lebih memilih untuk mengurus orang tuanya yang sudah lanjut usia, maka ia juga mesti mengerti konsenkuensinya untuk tidak melanjutkan studinya ke luar negeri. 
Makna Eksistensialisme dalam Buku Seni Untuk Bersikap Bodo Amat
Seperti yang diungkapkan di atas, manusia dalam pandangan eksistensialis bermakna subjek, ia juga sebagai pelaku dan ia juga sebagai yang melukan dan juga ia sendiri yang bertanggungjawab atas pilihannya. Sebenarnya di dalam bukunya Mark Manson terdapat poin-poin utama mengenai Eksistensialisme tersebut. Manson tampaknya ingin memberikan sebuah penekanan bahwa manusia itu juga merupakan sebagai subjek kehidupan karena ke-Aku-an dalam perspektifnya seperti mengindikasikan bahwa dirinya adalah yang hadir sebagai memilih bukan dipaksa memilih.
Memilih ini bukan hanya sekadar layaknya menunjuk suatu benda lalu ia tunjuj saja, melainkan apakah yang ia tunjuk itu memilih makna bagi dirinya, dan bagi diri mereka sendiri yang menentukan apakah itu bermakna atau tidak. Untuk menjadi seseorant yang bersikap bodo amat setidaknya menghasilkan dua kemungkinan. Jika Aku ini lebih mengambil bersifat untuk bodo amat dengan suatu urusan, maka ia akan bersiap-siap untuk orang yang cuek, mungkin terhadap di sekitarnya. Akan tetapi, jika si Aku ini mengambil sikap sebaliknya yaitu peduli, maka ia akan menghadapi konsekuensinya tersendiri.
Paling tidak, buku Mark Manson mengajarkan kita berbagai hal, salah satunya kemampuan untuk memilih apa yang ia inginkan, jika ia memilih menjadi pribadi yang bersifat bodo amat, maka setidaknya akan dianggap sebagai seorang yang tidak peduli dengan hal-hal di sekitarnya. Meskipun di dalam buku seperti mengungkapkan untuk bersikap bodo amat dengan hal yang membuat dirimu sendiri bisa hancur, masalah hancur atau tidaknya tergantung dari manusia itu sendiri karena dia sebagai subjek.

Share this content:

Post Comment