Anak Kecil Juga Berfilsafat : Keingintahuan dan Rasa Penasaran Anak Sekolah Dasar
Pendahuluan
Aktivitas berfilsafat, menurut temuan Matthews, sesungguhnya telah secara alamiah dimulai sejak usia sangat dini, usia yang penuh keingintahuan yang tak terbendung. Berfilsafat, karena itu, merupakan perjalanan mengenang kembali sebuah aktivitas yang pernah setiap orang nikmati pada masa anak-anak. Inilah titik awal yang sederhana, tetapi sangat penting bagi orang dewasa untuk menikmati (kembali) filsafat yang pada umumnya terkesan rumit dan tidak membumi.
Garreth Matthew dan Filsafatnya Tentang Anak Kecil
Karya manis dari Profesor Filsafat di Universitas Massachusetts, Amerika Serikat ini membuat para pembacanya terkesima dan juga terkesan menyenangkan yang dibahas di dalam buku tersebut. Mengapa tidak?, ia juga membuka pandangan kita bahwasanya anak kecil pun juga berfilsafat. Jika boleh mengutip dari Episode pertama Crash Course Philosophy di Youtube yang mengatakan bahwa filsafat merupakan pelajaran tentang apapun.
Buku ini membuat kita untuk memikirkan tentang perilaku anak-anak yang terkesan unik, sering kita menjumpai bahwa anak kecil sering kali bertanya akan sesuatu dan ia ingin tahu tentang apapun yang ia lihat. Awal dari buku ini, menggambarkan tentang teori pengetahuan Rene Descartes yang membedakan antara mimpi dan nyata. Padahal, keduanya merupakan hal yang nyata kita rasakan dan sama-sama tidak diragukan adanya. Jika kita berada di dalam dunia nyata dan dunia mimpi lalu kemudian yang dicontohkan di dalam buku tersebut sedang memakan ice cream1, pastilah rasanya tetap enak. Dari sini, pembaca diajak untuk berfikir layaknya Rene Descartes yang terkenal dengan semboyan Bahasa Latin-nya yaitu “Cogito Ergo Sum2” yang artinya “Aku berpikir, karena itu aku ada”.
Dari awal, bahwa kegiatan berfilsafat itu merupakan kegiatan berpikir, baik itu bersifat teka-teki, permainan, cerita dan lain-lain yang memerlukan pikiran, baik itu yang bersifat mudah maupun yang bersifat kompleks sekalipun. Buku tersebut benar-benar mengajarkan kepada kita bahwa filsafat juga bisa di awali dengan kegiatan yang sangat sederhana oleh anak-anak, misalnya si anak bertanya kepada orang tuanya tentang pekerjaan yang apa yang dilakukan oleh ayah dan ibunya. Bagi pembaca buku-buku filsafat, pastinya tidak asing dengan Dunia Sophie. Di beberapa bagian di dalam novel tersebut, terdapat teka-teki yang harus di pecahkan oleh seorang Sophie yang padahal masih seumuran anak SMP.
Matthew sepertinya ingin memberikan gambaran kepada kita orang-orang dewasa agar mencoba untuk merasakan keingintahuan dari anak-anak dan memberikan apresiasi kepada temuan apapun yang ia alami. Berdasakan hal yang dialami oleh anak-anak kecil, kita tidak bisa mengabaikan dengan pencapaiannya misalnya dalam berpikir, ketika si anak mulai bertanya tentang apa yang menurutnya menarik, pastinya ia akan bertanya kepada orang tuanya. Jika ia mendapat jawaban yang puas, biasanya ia akan mencari pertanyaan lagi baik secara spontan ataupun berpikir terlebih dahulu.
Secara mendasar, anak-anak, pada dasarnya, adalah filsuf alamiah (pencari tahu segalanya)3. Artinya, mereka selalu menjadi seorang filsuf yang sering mempertanyakan segala sesuatu, termasuk hal-hal yang sudah jelas bagi orang dewasa. Sering, anak-anak menanyakan pertanyaan yang mengandung unsur estetis, metafisis bahkan etis. Menjawab pertanyaan ini membutuhkan pemahaman dan pengetahuan yang mendalam tentang sejarah, politik dan metafisika, serta estetika. Anak-anak sebenarnya secara tidak sadar memiliki semacam intuisi filosofis yang telah ada secara alami sejak kecil, memperhatikan indera yang mereka gunakan.4
Referensi
[1] Matthews, Gareth B. Philosophy and the young child. Harvard University Press, 1980.
[2] Descartes, René. Meditations on first philosophy. Broadview Press, 2013.
[3] Gregory, Maughn. “Was ist Philosophie für Kinder?.” dalam Kinder Philosophieren, Hans Seidel Stiftung, hal (2007): 35-36.
[4] https://rumahfilsafat.com/2014/12/30/pendidikan-filsafat-untuk-anak/
Share this content:
Post Comment