Dear Guru, Kalian Luar Biasa…
Dear Guru…
Awalnya, saya melihat status caption Instagram dari Ichalago yang merupakan Selebgram yang memiliki konsentrasi dalam dunia pendidikan. Ada sebuah tulisan yang sebenarnya menjadi pengingat dan juga penguat bagi kita sebagai sosok guru. Adapun empat kalimat pertamanya, benar-benar menjadi pelajaran yang berarti tidak hanya bagi pendidik maupun peserta didik :
Guru yang kalian kira garang di kelas itu
Diam-diam sering menangis di rumah
Diam-diam sering mengiba diri
Karena sering tidak di hargai
Jujur, kalimat yang diungkapkan ini bukan hanya sekadar isapan jempol semata, tetapi itulah kenyataan peserta didik kita saat ini. Pendidik sudah capek dan letih memberikan penjelasan tentang pembelajaran dan mendidik mereka, tetapi guru ibarat seperti tidak ada maknanya. Boleh jadi, mereka itu yang terlihat garang di kelas lebih sering mengungkapkan rasa kesedihannya di rumah. Apalagi jika guru tersebut tidak memiliki teman curhat, ia mungkin hanya bisa curhat kepada Yang Maha Kuasa.
Apalagi, kita sering mendengar jika memang pendidik bukanlah pekerjaan fisik tetapi pekerjaan yang bersifat psikis. Biasanya, mereka yang awalnya sangat ceria, pada selesai bertugas berubah menjadi sangat capek. Hal ini dikarenakan secara psikis mereka sudah memberikan kekuatannya yang berimbas dengan fisik. Sepertinya Well being, menjadi sesuatu yang bersifat bermakna bagi para pendidik saat ini. Bukan tidak mungkin, mereka bisa melakukan tindakan bunuh diri karena kondisi mereka tersebut. Tetapi mereka lebih memilih untuk tetap bertahan, karena mereka tahu akan indah waktunya.
Kalian tidak tahu saja
Guru yang kalian kira senang hidupnya itu
Diam-diam banyak menahan batin di sekolah
Tunduk pada Kepala Sekolah
Memahami rekan kerja
Belum lagi menghadapi siswa
Dan kadang ancaman orang tua
Mungkin, para pendidik mendapatkan situasi seperti yang di atas, mereka sering kali menahan batin di sekolah. Bahkan, banyak orang yang beranggapan “untuk apa jadi guru?” atau kalau begitu “gak usah jadi guru” bahkan dengan lebih menohok lagi “untuk apa jadi guru? gak bakal kaya-kaya juga mending jadi pengusaha” atau “Siapa suruh jadi guru?”. Di dalam filsafat, kita tidak bisa melihat kenyataan dengan cukup melihat saja, boleh jadi kenyataan yang kita lihat justru menipu. Mereka mungkin lebih sering menyembunyikan kesedihannya, kesusahannya dan kepedihannya daripada memperumit keadaan.
Kacamata Guru vs Kacamata Orang Tua
Bahkan, ada yang mendapat sebuah case perbedaan behavior pada saat di sekolah dan di rumah. Uniknya, perbedaan yang cukup signifikan ketika peserta didik berada di sekolah dan di rumah. Hal ini menciptakan kesenjangan antara realitas satu dengan realitas yang lain. Contoh kasus, ada seorang anak ketika di sekolah tidak bisa membaca dan menulis saat di kelas dan hal tersebut sudah diupayakan oleh guru tersebut. Akan tetapi, murid tersebut tetap dianggap belum bisa oleh pendidik tersebut. Kemudian, orang tua dari Si Murid tersebut tidak terima bahwa ia masih belum bisa melakukan kedua hal tersebut, dan mengungkapkan argumen empirisnya, bahwa di rumah ia bisa melakukan kedua hal tersebut tetapi di sekolah justru belum bisa.
Memang benar, di rumah anak tersebut lebih lama bersama dengan orang tuanya. Tetapi, kita tidak bisa menutup mata dengan keadaan mereka di sekolah yang justru berbeda. Perbedaan realitas yang satu dengan yang lain tidak bisa dihindari dan mesti diterima oleh keduanya. Kita tidak bisa selamanya percaya bahwa peserta didik di sekolah akan sama dengan di rumah. Lagipula, Habitus dari peserta didik ini menjadi sesuatu yang beragam dan dibentuk oleh sifat sosial budaya, yang ada di luar kesadaran individu dan kadang-kadang menghindari kesadaran penuh, mencakup wacana, norma, nilai, ideologi, praktik sosial, kelas sosial, dan elemen lain yang merangkum keberadaan individu. Itulah mengapa ketika kita mungkin heran dengan kebiasaan peserta didik di rumah dan di sekolah sering kali tidak sinkron, bahkan berlawanan arah.
Mental Illness Para Guru
Kalian tidak tahu saja
Guru yang kalian duga baik-baik saja
Lebih banyak rusak mental nya
Tapi mereka luar biasa hebatnya
Ada sebuah jurnal menarik dari Mary Sandra Carlotto & Sheila Gonçalves Câmara mengungkapkan setidaknya sekitar 29,7% para guru di Brazil mengalami CMD (Common Mental Disorder) yang salah satu faktornya terkait rendahnya tingkat dukungan sosial tersebut. Jika kita berkaca pada kasus sebelumnya, memang begitu jelas kurangnya dukungan sosial yang dialami oleh guru. Bahkan mereka tidak jarang merasakan sakit karena menghadapi realitas yang di alaminya. Hal tersebut dibenarkan oleh penelitian dari Daniel J. Madigan, Lisa E. Kim, Hanna L. Glandorf & Owen Kavanagh yang mengungkapkan efek dari kelelahan dari guru bisa berimplikasi yang cukup serius seperti kaitan dengan depresi, kecemasan, serta kepuasan hidup dan kerja yang lebih rendah. Selain itu, terdapat bukti bahwa kelelahan guru memengaruhi hasil belajar siswa, dengan studi yang menemukan penurunan prestasi akademik dan kualitas motivasi siswa.
Tentu saja, kita dapat mengungkapkan guru bukanlah sebuah robot AI, mereka juga memiliki kesehatan dan pikiran yang hidup. Mungkin, mereka yang selalu bertemu dengan guru benar-benar belum tahu apa yang terjadi pada guru tersebut. Ada yang benar-benar membutuhkan pertolongan tetapi ia selalu tersenyum, bahkan ada yang akhirnya mesti mengakhiri hidupnya (baca : bunuh diri) karena kondisi yang benar-benar tidak menguntungkannya.
Terima Kasihku, Guruku…
Di depan siswa
Mereka bisa sumringah sembari menjelaskan materi
Padahal batin di rusak oleh situasi
Saya teringat dengan sebuah kasus bunuh diri yang di alami oleh Guru SD bersama Istri dan anaknya pada bulan Desember 2023. Adapun kasus tersebut disebabkan karena terlilit hutang yang tidak bisa dibayar, dan akhirnya memilih untuk mengakhiri hidupnya. Pernahkah kita memperhatikan guru kita menunjukkan ekspresi wajah lesu saat pembelajaran? atau mungkin kita lebih sering melihatnya tersenyum saat memberikan pembelajaran? Ada sebuah gambaran ketika seseorang tertawa terbahak-bahak artinya ia benar-benar kesepian dalam artian posisinya tidak menguntungkan.
Sekali lagi, kita hanya bisa melihat guru kita dalam dua hal yaitu Tertawa dan Marah (baca : ketegasan). Tapi kita tidak akan pernah bisa melihat kondisi riil dari guru tersebut. Maka dari itu, tidak heran di depan siswa ia benar-benar bahagia meskipun itu hanya untuk sementara. Walaupun, ia tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa situasi yang ia alami benar-benar sulit untuk diterima secara akal sehatnya. Untuk guru yang mengalami situasi yang tidak baik-baik saja, kalian benar-benar luar biasa, dan kalian benar-benar menunjukkan apa yang disebut dengan resiliensi. Teruntuk bagi guru, walaupun saya juga guru, kita semua sudah hebat berada di dalam tahap ini. Kita semua adalah manusia kuat yang terus bertahan apapun yang terjadi. Maka dari itu, terima kasih Para Guru yang mengabdikan diri sebagai pendidik yang baik dan bijaksana bagi murid dan orang tuanya.
Referensi
Ichalago, 2024, Mei 9, Selamat Hari Libur (Instagram post) https://www.instagram.com/p/C6umMtuv0jp/
Daniel J. Madigan, Lisa E. Kim, Hanna L. Glandorf, Owen Kavanagh, Teacher burnout and physical health: A systematic review, International Journal of Educational Research, Volume 119, ISSN 0883-0355, https://doi.org/10.1016/j.ijer.2023.102173.
Mary Sandra Carlotto, Sheila Gonçalves Câmara, Prevalence and risk factors of common mental disorders among teachers, Volume 31, Issue 3, 2015, Pages 201-206, ISSN 1576-5962, https://doi.org/10.1016/j.rpto.2015.04.003.
Share this content:
Post Comment