Evolusi, Logika dan Refleksi Sejarah Kita Sebagai Anak Manusia
Pendahuluan
Kita telah melewati banyak sekali perubahan-perubahan, baik itu yang terkecil maupun yang terbesar di dalam hidup itu sendiri. Perubahan dari Generasi Baby Boomer ke Generasi Alpha sangat terasa, jangankan itu dari Generasi Millenial ke Generasi Alpha sudah sangat banyak perbedaan entah itu dari segi berpikir hingga mainset kehidupan yang dipengang oleh kedua generasi tersebut. Mungkin sepanjang sejarah kita akan mengenal anak-anak ibarat Alice In Wonderland dengan memiliki keadaan yang terbalik seperti yang ilustrasikan oleh Jonathan Black1 . Bagi saya sendiri, adalah sesuatu yang tidak perlu menjadi hal yang mengherankan apalagi terkejut dengan perkembangan anak di zaman sekarang ini. Pada akhirnya, kita akan berpikir bahwa kita berada di dalam “realitas” dinamis di alam yang bersifat temporal2 ini dan semuanya akan selalu berubah-ubah dengan begitu otentik3.
Evolusi Berpikir Anak
Salah satu yang pernah saya kagumi dari Sekolah Dasar adalah Filsafatnya Rene Descartes mengenai Cogito Ergo Sum4 (Aku berpikir, Aku ada) dan mungkin terlihat sangat sederhana untuk diucapkan baik itu lewat bahasa Latin maupun bahasa Indonesianya. Akan tetapi, penerapannya mungkin membutuhkan waktu sampai sekarang. Namun percaya atau tidak ketika kita berbicara tentang berpikir, pada akhirnya akan ada perbedaan yang spesifik, padahal sama-sama manusia dan juga anak-anak tetapi tingkat kecerdasannya yang membedakan antara masing-masing anak itu sendiri5. Akan tetapi, apakah kita akan menganggap itu sebagai perlombaan? Tentu saja tidak! Maka kita sama seperti memperlombakan dia di tengah Colleseum, Roma. Namun, kita lebih senang untuk dijadikan sebagai ajang perlombaan dan ini relate dengan teori-teori Pierre Bourdieu tentang habitus6, arena7 dan capital8. Apa maksudnya? Habitus mereka adalah sesama peserta didik yang mempertandingkan kecerdasan, sedangkan Arena-nya di sekolah, yang pasti Capital (Modal)-nya adalah kecerdasan, dan buku-buku yang ada. Tapi pertanyaan sederhananya adalah, apakah itu yang diinginkan oleh anak? Tidak semuanya! melainkan mereka mencari identitas diri mereka untuk menjadi seperti apa, karena juga memilki pikiran, sama seperti kita yang sudah dewasa. Saya pernah menghadapi seorang siswa (sebelum ke SDN 05 Pontianak Utara) ia seperti mendapat pengekangkan oleh orang tuanya, bahkan ia seperti diajarkan dengan penuh paksaan.
Mungkin kalau kita membuat sebuah ilustrasi dari case tersebut dan itu memanglah benar, ketika kita ingin memberitahu orang tuanya pasti ia akan berkata “Ini adalah anak saya, terserah saya mau dijadikan apa”. Paling tidak kemungkinan yang terburuk seperti itu, tetapi perlu diingat bahwa anak adalah titipan dari Tuhan. Bagaimana bisa itu adalah titipan? Kita mungkin menginginkan bahwa akan ada terlahir anak yang menjadi buah hati, dan Tuhan mengizinkannya, namun perlu diingat bahwa buat hati tersebut perlu di jaga sama seperti kita menjaga sesuatu yang berharga di dalam hidup kita. Frase “Ini adalah anak saya, terserah saya mau dijadikan apa” juga bukan hal yang tepat untuk digunakan, bahkan seperti mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang memiliki gen Egois9 .
Ada ungkapan yang menurut saya bijak yang diungkapkan oleh Sahabat Nabi Muhammad Saw yaitu Ali bin Abi Thalib yaitu “Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian”. Istilah ini mewakili hadirnya Evolusi zaman yang kita mesti persiapkan baik calon orang tua maupun yang sudah menjadi orang tua. Saya jadi teringat dengan diskusi saya dengan Pak Marsih Muhammad mengenai parenting yang saat itu beliau mengungkapkan bahwa setiap anak memiliki karakteristiknya sendiri, dan tidak bisa kita didik seperti yang apa yang kita rasakan dan mereka juga berada di zaman yang berbeda. Ibarat contoh, orang tua terdahulu yang terkesan kasar dalam mendidik, dikarenakan kondisi sosio-cultural yang saat itu menjalani fase Penjajahan Jepang, dan Pola Asuh tersebut yang menjadi melekat pada Si Orang Tua. Maka tugas kita, memberikan ruang yang baru bagi anak untuk menjelajahi dunianya.
Bila kita berbicara tentang Teori Generasi, setidaknya kita tidak hanya berbicara tentang diri kita sendiri, melainkan kita membahas orang sebelum kita lahir, bersamaan dengan kelahiran kita dan setelah kelahiran kita. Mereka memiliki karakteristik, sama seperti yang ingin diungkapkan oleh Jean Francois Lyotard mengenai Postmodernisme yang mengungkapkan bahwa ia menolak meta-narasi (narasi umum atau narasi umum) dan lebih memilih untuk melihat narasi-narasi kecil (baca : kebenaran) yang berada di sekitar kita. Jadi, istilah ini lebih bersifat kebenaran yang bersifat relatif dan berbeda-beda10. Jika kita tarik dari konteks yang diungkapkan oleh Lyotard adalah kita akan mengembalikan kemauan anak secara individu. Akan tetapi, saya meyakini setiap anak memiliki berpikir yang berbeda-beda di setiap manusianya. Hal ini diungkapkan oleh Abraham Maslow di dalam Teori Psikologi Humanisme yang berpandangan bahwa setiap manusia adalah unik (baca : berbeda) dan tidak bisa disamakan dengan yang lain11 .
Ketika teori ini diaplikasikan dalam dunia Pendidikan ia akan menjadi teori yang berusaha untuk memanusiakan manusia dengan menjadikan “proses” belajar dianggap berhasil jika peserta didik mendiskusikan lingkungannya dan mengklaim dirinya sendiri. Siswa dalam proses pembelajaran harus berusaha agar lebih lambat dan mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.12 Tentu saja ini juga Memberikan kesempatan siswa untuk berpikir kritis, kreatif terhadap materi pelajaran yang disampaikan, menghubungkan materi pelajaran dengan dunia nyata siswa. Strategi pembelajaran sebagai aplikasi teori humanistik dapat dilakukan dengan strategi pembelajaran aktif, kreatif, menyenangkan, koperatif, kontekstual, dan inquiry–discovery.13 Untuk saat ini pembelajaran, sudah bersifat Student Centre, yang pasti evolusi berpikir anak-anak sudah lebih bersifat exploring ketimbang behavioring.14 Apa maksudnya? Peserta didik sudah dianggap mampu untuk mencari dan mengeksplor pengetahuan yang ingin ia dapat. Walaupun demikian, kita sebagai guru dan orang tua juga mampu untuk memberikan filtering bagi pengetahuan anak sebagai wujud dari Tri Pusat Pendidikan.
Logika Anak Sebagai Bahasa Realitas
Ketika pertama kali saya mengajar anak-anak Sekolah Dasar, awal persepsi saya tentang anak-anak zaman sekarang mungkin lebih radikal karena mereka saat ini dianggap sebagai anak kandung teknologi (atau yang paling memahami teknologi) yaitu Generasi Alpha15. Akan tetapi, yang saya lihat justru terlihat seperti biasa kala pada saat di kelas. Mereka dengan bahasa logika mereka dan terkadang mereka suka bermain di lapangan Sekolah. Ini merupakan nostalgia yang begitu menyenangkan dan penuh dengan nilai historis, bagaimana kita mencoba untuk bermain bersama teman di luar tanpa memikirkan hadirnya teknologi saat itu.
Mungkin dunia sudah tidak terasa, seperti adanya Dilatasi Waktu16. Mau bagaimanapun, waktu akan terus berjalan dan seakan-akan waktu tidak akan terasa, ini mungkin yang disebut dengan Relativitas Khusus terkait Ruang dan Waktu itu sendiri17. Ketika kita saat itu masih bersekolah, kita tidak mengenal sama sekali apa itu teknologi sedangkan sekarang ada sedikit perbedaan baik itu dari habitus maupun berpikirnya. Sebagai pembanding, teknologi yang terbaik di dalam hidup saya di masa Sekolah Dasar adalah Komputer sedangkan anak-anak zaman sekarang adalah smartphone. Perbedaan yang selanjutnya adalah kebiasaan berpikirnya yang sudah mulai bergeser dari berpikir individualis menuju rasionalis.
Ada yang unik dari pengalaman saya mendapat sebuah pertanyaan dari salah seorang anak kira-kira seperti ini : “Masjid itu kan Rumah Allah, sedangkan Allah itu Maha Besar. Bagaimana cara Allah bisa masuk ke rumah-Nya sendiri?” ini terdengar seperti Omnipotence Paradox (Paradoks Kemahakuasaan Tuhan)-nya Ibn Rusyd18 kalau saya perhatikan. Untuk menjawab ini mungkin saya tidak akan menggunakan jawaban yang filosofis juga, meskipun pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaan filosofis. Ada dua argumen yang saya ungkapkan kepada anak tersebut, yang pertama bahwa argumen ini bersifat Metafisika yaitu sesuatu yang tidak mungkin bisa dicapai oleh akal manusia sedangkan argumen yang kedua adalah Tuhan itu berbeda dengan makhluknya atau di dalam Sifat Wajibnya di sebut Mukhalafatul Lilhawaditsi, kemudian saya memberikan contoh apakah kamu sama seperti teman sebelahmu dari segi wajah? Kemudian Ia menjawab : “Tidak!” “Seperti itulah kita memaknai pertanyaanmu tadi.” ucap saya kepada anak tersebut.
Kemudian ada seorang siswa laki-laki yang bertanya kepada saya tentang apa yang saya ajarkan kepada mereka dengan bertanya “Apakah kemarin itu belajar?” Saya menjawab “Iya, ada apa?” “Menurut saya itu bukan belajar, Pak!” ucap anak tersebut. Setelah itu saya langsung menjelaskan kepada anak tersebut dan menanyakan kepadanya “Apakah yang kamu maksud belajar itu adalah Membaca dan Menulis?” Kemudian ia menjawab “Iya, Pak”. Saat itu saya langsung mengungkapkan kepadanya apa yang disebut dengan belajar tidak hanya sekadar membaca dan menulis bahkan ia mendapatkan itu di jalan bahkan saat bermain sekalipun. Ia pun langsung memahami bahasa yang saya gunakan dan dia langsung pergi ke kelasnya. Apa yang dia ungkapkan itu, kurang lebih dengan pertanyaan dari dosen saya yaitu Pak Hariansyah tentang belajar. Kedua dari peristiwa tersebut memberikan indikasi akan perubahan yang secara unik tentang berpikir logis ala anak-anak. Hal ini mungkin seperti membenarkan teori Garreth Matthew yang menganggap bahwa anak kecil juga berfilsafat dan mencari tahu hal-hal layaknya orang dewasa.19
Kita Sebagai Anak Manusia dalam Sejarah
Mungkin dari judul di atas terkesan seperti gaya penulisannya Yuval Noah Harari20 seperti Sapiens ataupun Homo Deus karena ini bukan Sejarah yang dimaksud seperti itu. Di dalam tulisan ini, saya mungkin akan sejarah Manusia Pertama yaitu Nabi Adam a.s hingga saat ini dan kita akan kontekskan dalam Evolusi berpikir. Pada saat Nabi Adam a.s. diciptakan dengan sesuatu yang sangat spesial, ini menjadi penanda awalnya peradaban. Tetapi selalu saja ada perdebatan antara Manusia Kera yang selalu mengutip Charles Darwin terkait dengan Manusia yang sering diungkapkan merupakan evolusi dari Kera. Meskipun demikian, perlu ditekankan bahwa Darwin berbicara tentang Asal Usul Spesies, bukan manusia.21 Saya hanya bisa menawarkan argumen untuk mendamaikan keduanya argumen pertama manusia kera memang benar yang pertama tetapi bukan Manusia Sempurna, sedangkan Manusia Sempurna baik itu dari segi fisik dan pikiran adalah Nabi Adam a.s.
Di dalam perkembangan manusia selalu ada pertanyaan yang bersifat pragmatis. Di mulai dari yang awalnya berpikir untuk bisa memenuhi kehidupan misalnya makan dan minum. Mungkin anak-anak zaman itu juga akan berpikir sama dengan saya, dan tak ada yang mereka pikirkan kecuali bertahan hidup. Paling tidak, ada lima kebutuhan dasar yang mesti mereka penuhi Fisiologis, Rasa Aman, Sosial, Penghargaan dan Aktualisasi Diri.22 Pada masa lalu, pasti mereka akan berpikir, tidak hanya orang yang lebih tua tetapi juga anak-anak berpikir bagaimana caranya bertahan hidup, mungkin ibarat seperti Romulus dan Remus yang bertahan hidup dengan meminum susu Serigala23
Zaman telah berubah dan menjadi Imperium-Imperium seperti di Roma dan Persia. Begitu juga gaya berpikirnya juga akan berubah yang awalnya untuk memenuhi kebutuhan biologis berubah menjadi memprioritas Rasa Aman. Tak terkecuali bagi anak-anak yang senang dengan dunianya, apalagi mereka hidup di zaman kerajaan. Logika dan imajinasi mereka bukan lagi berkaitan dengan makanan dan minuman tetapi karena selalu ada peperangan yang ada mereka hanya berpikir bagaimana untuk menemukan “Rasa Aman” itu. Jawabannya sederhana, menjadi bagian dari Imperium asalkan tidak membangkang, kamu sudah diberikan rasa aman.
Selanjutnya, zaman telah berubah meskipun masih ada Imperium tetapi sedikit lebih berbeda. Pada kenyataannya, untuk hidup di zona aman juga tidak selamanya menyenangkan. Mereka pun mencoba untuk berpikir untuk membentuk komunitas seperti Nabi Isa a.s. yang memiliki komunitas sosialnya yang disebut Hawariyyun (baca : murid Nabi Isa a.s.) yang menebarkan ajaran kasih sayang. Begitu juga Nabi Muhammad saw. yang membuat komunitas sosial yang ada di Madinah dan membentuk Pemerintahan dengan Piagam Madinah sebagai landasan utama mereka dalam menjalankan tugas sebagai Warga Negara.
Kita akan menyeberang zaman lagi, lebih tepatnya sebelum Revolusi Prancis yang menyebabkan perubahan yang begitu besar di dalam sejarah Anak Manusia. Ketika ketidakadilan mulai merajalela, dan apalagi Raja dan Ratu Prancis saat itu yaitu Louis XVI dan Marie Antoinette yang dianggap kurang peka di dalam dengan rakyat bahkan minim apresiasi kepada warganya terutama di bidang Ekonomi. Raja yang terlalu banyak mendapat bisikan sedangkan Ratu yang terlampau mewah dengan uang rakyat akhirnya mereka mesti di binasakan. Hal ini memunculkan Revolusi besar-besaran di Prancis dengan memproklamirkan tiga istilah yang sampai saat ini menjadi bagian dari hidup Prancis yaitu Liberte, Egalite dan Fraternite (Kebebasan, Kesetaraan dan Persaudaraan). Pasca dari Revolusi Prancis ini hingga Perang Dunia II selesai sepertinya yang menjadi kebutuhan selanjutnya adalah Penghargaan seperti hadirnya HAM, Hukum yang Berkeadilan sebagai wujud dari kebutuhan mereka. Mungkin dari sinilah perbedaan berpikir anak-anak akan kelihatan berbeda, dan tidak sama lagi seperti dua kebutuhan sebelumnya.
Untuk anak-anak konglomerat, mereka tidak perlu memikirkan kebutuhan makanan dan minuman (fisiologis) dan juga mereka pasti akan merasa aman karena mereka adalah Keluarga Kerajaan. Sedangkan anak-anak yang berada di dalam keluarga yang tidak memiliki apa-apa, mereka akan berjuang mati-matian untuk mendapatkan makanan dan minuman bahkan juga harus melawan rasa aman jika ingin makan. Kesenjangan sosial juga sangat tampak apalagi untuk anak-anak konglomerat, pastinya akan dipisahkan dari anak-anak yang ekonominya rendah. Seperti ada sekat antara dunia mereka yang semestinya dengan yang diinginkan.
Mari kita berbicara Abad 20 yang merupakan kehidupan dari Ayah dan Ibu kita, di Indonesia. Sebagai Negara yang baru eksis di mata Internasional, mungkin bisa dikatakan masih berumur bayi yang baru lahir. Sebagai contoh, perbedaan antara generasi ini dengan yang sebelumnya juga masih ada, seperti adanya kesenjangan sosial. Tapi bedanya, tidak seperti yang disebutkan di atas. Kesenjangan ini mengenai perbedaan penghargaan. Mungkin saat itu, anak-anak yang berada di tahun ini menghabiskan waktunya untuk menjadi bagian dari Pejuang Kemerdekaan dan sebagai gantinya mereka mendapat penghargaan yaitu dibiayakan kuliahnya oleh Negara. Tetapi, meskipun mereka mendapat penghargaan yang baik dari pemerintah saat itu mereka pada akhirnya menjadi sosok yang menganggap dirinya sebagai Superior karena dianggap sebagai berjuang bagi Negara.24 Meskipun HAM dan Keadilan sudah mulai hadir di masa ini, tetapi sepertinya mereka belum mendapat penghargaan yang layak di masa ini.
Sebagai penutup bagi Perkembangan Sejarah Anak Manusia yang bisa kita jadikan sebagai Refleksi Kehidupan, paling tidak kita sudah berada di zaman Postmodernisme. Zaman ini suara-suara kecil sudah mulai diperhatikan. Di masa ini pula berkembang teknologi yang memudahkan anak-anak manusia untuk mengaktualisasikan diri mereka untuk menjadi eksistensi yang hadir. Platform seperti Instagram, Tik-Tok, Facebook, Twitter digunakan kita untuk mendukung aktualisasi diri itu. Masalah yang menjadi utama di zaman ini mereka sering kali tidak bisa membedakan antara aktualisasi diri dalam bentuk prestasi dan sensasi dan cenderung simulakra, bahkan tidak bisa membedakan antara realitas asli dengan realitas yang dibuat asli25 . Walaupun mereka sudah mendapatkan semua kebutuhan dasar tersebut termasuk juga aktualisasi diri.
Tetapi kita mesti beruntung, di dalam perbedaan zaman ini pasti memiliki hikmah yang bisa kita ambil sebagai generasi Abad 21 seperti kata Edmund Burke “Sejarah adalah suatu perjanjian di antara orang yang sudah meninggal, mereka yang masih hidup, dan mereka yang belum dilahirkan.” perjanjian ini lebih bersifat reflektif apakah kita akan mengikuti atau mengubah, keduanya ada di tangan kita sendiri. Saya meyakini anak-anak di zaman sekarang sudah lebih canggih dalam berpikir dan mampu berlogika dengan baik bila dibandingkan dengan zaman-zaman dahulu yang mesti dirumuskan dahulu tentang Logika oleh Aristoteles. Apalagi sekarang di dunia Pendidikan, tidak lagi guru sebagai pusat pengetahuan tetapi murid itu sendiri yang mencari pengetahuan dan guru hadir sebagai klarifikator. Artinya, mereka dapat mencari secara luas apa yang mereka inginkan.
Namun, kita bisa berbahagia sejenak karena perkembangan intelegensi anak-anak sudah semakin lebih unik, apalagi ketika saya mencoba untuk memberikan mereka tugas Diari yang sebagian besar dari mereka menggunakan Logika dan Metafor yang sangat berkembang. Ada beberapa anak yang menurut saya, ketika saya membacanya menjadi suatu hal yang terkejut karena jarang sekali anak SD ketika ia menuliskan perihal diarinya menggunakan metafora yang estetik. Untuk hal ini saya sangat bersyukur bisa hidup hingga saat ini karena pada akhirnya meskipun masih Sekolah Dasar tetapi mempunyai style tulisan yang sama dengan anak SMA.
Kesimpulan
Lalu yang menjadi masalahnya adalah apakah Endgame nya? Kita akhirnya akan mengakui betapa uniknya dunia termasuk Evolusi berpikir anak-anak yang berpikir Fisiologis menjadi berpikir Filosofis dan Aktualis. Mengapa demikian? Karena di dalam setiap zamannya memiliki permasalahan yang mesti mereka selesaikan terlebih dahulu, dan itu menjadi bagian yang membekas bagi generasi setelahnya. Kita tidak bisa mengelak perbedaan berpikir yang seperti ini, apalagi di dunia Pendidikan peserta didik menjadi pusat dari Pendidikan. Ibarat Posmodernisme yang menghendaki adanya kebenaran di setiap tempat. Di tambah lagi, dengan perkembangan anak yang semakin signifikan terutama dalam bidang berpikir Logis dan Kreativitas dalam bidang Sastra maupun Seni Karya. Meskipun sejarah yang kita lewati memiliki liku-liku perkembangan anak yang begitu otentik, tetapi setidaknya bisa menjadi pelajaran bagi kita bahwa baik itu secara biologi mau dewasa maupun anak-anak tetap memiliki liku-likunya. Tetapi yang menjadi saat ini adalah aktualisasi yang bersifat prestasi atau sensasi. Itulah yang menjadi perenungan bagi kita semua yang hidup saat ini.
Referensi
[1] Black, Jonathan. Sejarah dunia yang disembunyikan. Pustaka Alvabet, 2015.
[2] Moravec, Matyas (2021). Eternity, Relative Realities, and Ontological Idealism About Time. TheoLogica: An International Journal for Philosophy of Religion and Philosophical Theology 5 (1).
[3] Sartre, Jean-Paul. “Being and nothingness.” Central Works of Philosophy v4: Twentieth Century: Moore to Popper 4 (2015): 155.
[4] René Descartes: Principles of Philosophy: Translated, with Explanatory Notes. Vol. 24. Springer Science & Business Media, 1984.
[5] Hildayani, Rini, et al. “Psikologi perkembangan anak.” (2014): 1-34.
[6] Bourdieu, Pierre. “Structures, habitus, practices.” Rethinking the Subject. Routledge, 2018. 31-45.
[7] —————. Arena Produksi Kultural. Jogjakarta: Pustaka Pelajar .2010
[8] —————. “The forms of capital.(1986).” Cultural theory: An anthology 1 (2011): 81-93.
[9] Dawkins, Richard. The Selfish Gene (Gen Egois) terj. K. El-Kazhiem. Kepustakaan Populer Gramedia, 2017
[10] Lyotard, Jean-Francois. “The Postmodern Condition.” Manchester: Manchester (1994).
[11] Maslow, Abraham Harold. Motivation and Personality. Prabhat Prakashan, 1981.
[12] Sumantri, Budi Agus, and Nurul Ahmad. “Teori Belajar humanistik dan Implikasinya terhadap pembelajaran pendidikan agama islam.” Fondatia 3.2 (2019): 1-18.
[13] Solichin, Mohammad Muchlis. “Teori Belajar Humanistik Dan Aplikasinya Dalam Pendidikan Agama Islam.” Jurnal Islamuna 5.1 (2018).
[14] Saya merujuk pada buku Brandes, Donna, and Paul Ginnis. A guide to student-centred learning. Nelson Thornes, 1996.
[15] Fadlurrohim, Ishak, et al. “Memahami Perkembangan Anak Generasi Alfa Di Era Industri 4.0.” Focus: Jurnal Pekerjaan Sosial 2.2 (2019): 178-186.
[16] Dilatasi Waktu adalah konsekuensi dari teori relativitas khusus di mana dua pengamat yang bergerak relatif terhadap satu sama lain akan mengamati bahwa jam pengamat lain berdetak lebih lambat dari jamnya. Peristiwa ini bukanlah akibat dari kesalahan jam atau faktor teknis lainnya, tetapi merupakan sifat dasar dari pembengkokan ruang-waktu yang dijelaskan dalam teori relativitas. Rujuklah di Bailey, J., et al. “Measurements of relativistic time dilatation for positive and negative muons in a circular orbit.” Nature 268.5618 (1977): 301-305.
[17] Saya merujuk pada kumpulan Paper Albert Einstein yaitu Einstein, Albert. “On the special and general theory of relativity.” The collected papers of (1997).
[18] Mulligan, R. W. “Divine Omniscience and Omnipotence in Medieval Philosophy: Islamic, Jewish, and Christian Perspectives. Edited by Tamar Rudavsky.” The Modern Schoolman 64.3 (1987): 207-209.
[19] Matthews, Gareth. The Philosophy of Childhood. Harvard University Press, 1994.
[20] Yuval Noah Harari lahir 24 Februari 1976) adalah seorang sejarawan Israel yang menjabat sebagai profesor di Departemen Sejarah Universitas Ibrani Yerusalem. Ia adalah penulis buku Sapiens: A Brief History of Humankind (2014) dan Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (2015). Buku Sapiens berisi tentang sejarah manusia semenjak terjadinya “revolusi kognitif” sekitar 50.000 tahun yang lalu, yaitu ketika Homo sapiens menyingkirkan Neanderthal, menguasai linguistik kognitif, mengembangkan masyarakat yang terstruktur dan menjadi predator puncak. Kemudian terjadi revolusi agrikultur dan kini manusia semakin diperkuat oleh revolusi ilmiah. Sementara itu, buku Homo Deus berkisah tentang prediksi manusia mengenai masa depan yang dilengkapi dengan latar belakang sejarahnya. Bagi yang ingin tahu siapa Harari lihatlah Yuval Noah Harari. (2022, Mei 29). Di Wikipedia, Ensiklopedia Bebas. Diakses pada 11:32, Mei 29, 2022, dari https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Yuval_Noah_Harari&oldid=21167412
[21] Darwin, Charles. The Origin of Species. New York: PF Collier & son, 1909.
[22] Maslow, Abraham, and K. J. Lewis. “Maslow’s hierarchy of needs.” Salenger Incorporated 14.17 (1987): 987-990.
[23] Ilustrasinya ada di Black, Jonathan. Sejarah dunia yang disembunyikan. Pustaka Alvabet, 2015. hlm 286
[24] Hal ini anda bisa lihat di film Rudy Habibie yang menampilkan Perjuangan Prof. Dr.ing. Ir. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, FREng. dalam menyelesaikan kuliahnya di RWTH, Jerman
[25] Baudrillard, Jean. Simulacra and simulation. University of Michigan press, 1994.
Share this content:
Post Comment