Kebencian di dalam Tragedi, Pantaskah?
Meskipun kita berada di dalam tragedi dan pandemi yang sangat memukul berat aktifitas kita selama ini, tapi anehnya di saat yang sama terdapat banyak sekali kebencian yang beredar di dunia maya itu sendiri. Pertanyaan sekarang adalah bisakah kita saling menguatkan satu sama lain? Saya rasa hanya sedikit orang yang mampu untuk merangkul di dalam suasana bencana. Kebencian Politik juga tidak kalah heboh, seperti stereotipe Cebong dan Kadrun misalnya yang sudah menjadi bagian hidup dari Indonesia.
Saya sempat heran mengapa di dalam suasana seperti ini masih saja ada ujaran kebencian. Parah lagi yang memberikan ujaran kebencian tersebut orang-orang yang kita sebut dewasa. Seketika saya jadi teringat dengan ayat Al-Quran Surah Ar-Rum ayat 54 :
Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui, Maha Kuasa.
Mari kita perhatikan siklusnya lemah kemudian kuat lalu lemah kembali dan beruban. Jika kita berbicara tentang Biologi maka hal ini menjadi wajar, tapi lebih wajar lagi adalah ketika kita memandang ayat tersebut di dalam perspektif Psikologi. Fase lemah dalam hal ini merujuk pada anak-anak yang memang wajar jika ia kekanak-kanakan, lalu fase kuat disini bisa kita katakan sebagai orang-orang yang sudah berada di dalam fase remaja dan fase menuju dewasa ada yang menyebut dari umur kita dewasa awal menuju dewasa akhir yaitu 40 tahun . Lalu ayat menyebutkan fase ketiga yaitu lemah dan beruban, fase ini bisa dikatakan sebagai keadaan yang mirip dengan anak kecil dengan segala kekanak-kanakannya.
Jika kita perhatikan di sosial media sekarang ini, yang paling banyak mengeluarkan kebencian justru dari kalangan dewasa. Padahal seharusnya jika ia sudah beranjak dewasa, ia seharusnya bisa mengetahui bahwa menebarkan kebencian adalah sesuatu yang sia-sia dan hanya menambah dosa saja. Uniknya lagi, Tuhan Yang Maha Kasih dan Maha Cinta menurunkan Kitab Suci kepada Manusia, lalu lantas mengapa berubah menjadi Keeogisan yang terkadang menyebabkan Perang Antar Saudara maupun Agama.
Meskipun peperangan di saat ini tidak berbentuk senjata, tapi perang lewat Media Sosial menjadi alternatif yang sangat sering terjadi. Misalnya di Indonesia terkenal dengan istilah Cebong dan Kadrun, padahal untuk apa kita selama mempercayai adanya Bhinneka Tunggal Ika? Apakah kita sendiri yang mematikan istilah tersebut? Sepertinya, hidup di dalam perdamaian hanyalah ungkapan belaka, padahal baik individual manusia maupun agama tidak menghendaki adanya permusuhan.
Lantas, apakah kita perlu belajar dari anak kecil yang sangat polosnya ketika ada perkelahian bahkan tidak perlu waktu yang cukup lama untuk menyatukan diri bersama dengan teman-temannya? Jikalau begitu, kita tak lebih cerdas dari anak kecil. Meskipun sangat sulit untuk mengatasi kebencian, paling tidak kita semua bersatu di masa Pandemi ini, karena kita saling membutuhkan satu sama lain. Bukankah Nabi pernah bersabda bahwa bencilah ala kadarnya dan jangan berlebihan?[].
Share this content:
Post Comment