Koherensi Antara Cinta dan Cita-Cita
Ada tema yang menarik dari Komunitas Meja Interaksi pada hari Selasa, 2 Maret 2021 yang mungkin membuat semua orang bertanya-tanya apakah ada hubungan antara cinta terhadap cita-cita? Padahal, jika kita memandang sekilas tentang cinta, lalu apa yang terbayang dari diri kita yaitu dua insan yang berbeda saling menyayangi dan beradu kasih? Mungkin ada benarnya meskipun sedikit, tetapi ini tema ini mencoba untuk mengimplementasikan makna cinta menurut Erich Fromm.
Setidaknya saya mencoba untuk menangkap beberapa hal mengapa antara Cinta dan Cita-Cita memiliki keterkaitan, paling tidak kita dapat menangkapnya lewat teori Erich Fromm yaitu cinta terhadap diri sendiri. Menurut Fromm, hal yang paling fundamental untuk menjadi seorang pecinta adalah berusaha untuk mencintai dirinya sendiri. Fromm nampaknya mencoba untuk mengingatkan kepada kita semua agar kita mencoba berpindah fokus untuk mencintai diri kita sendiri. Maka dari itu, jika kita bisa mencintai diri kita sendiri baru kita bisa menggapai apa yang ingin kita mau.
Fromm mengatakan : Orang harus merayakan cinta setiap hari sebagai tindakan yang membebaskan dan memperkaya. Orang yang berhasil belajar mencintai dengan cara yang dewasa dan sadar memahami bahwa cinta bukanlah kepemilikan atau kondisi. Cinta adalah kepedulian dan keinginan kuat untuk mendorong pertumbuhan semua orang yang kita cintai.
Paling tidak, tahap cinta ini adalah awal dari segalanya. Kita senantiasa untuk menganggap bahwa cinta adalah tindakan yang berusaha untuk membebaskan dari kegundahan dan kebingungan diri, sebenarnya inilah yang mesti kita gaungkan untuk diri kita sendiri. Meskipun demikian, cinta kepada diri sendiri bukan bermaksud untuk keegoisan, dengan mengejar apa yang kita inginkan tetapi caranya yang tidak sarat akan cinta.
Sama seperti menggapai cita-cita, terkadang kita mesti mengenal terlebih dahulu apa yang menjadi potensi kita yang sebenarnya. Tidak heran mencintai itu juga bisa dikatakan sebagai ilmu untuk mengetahui diri sendiri. Paling tidak, dalam pencarian minat dan bakat yang ada, biasanya fenomena yang di alami oleh anak-anak remaja masih mencari identitas dirinya dan termasuk pula minat dan bakatnya.
Namun yang menjadi masalahnya di sini, jika kita memaknai cinta yang seharusnya menuntun kita kepada kebebasan berubah menjadi sebuah penjara bagi kita sendiri. Perasaan yang terpenjara sebetulnya karena kita tidak bisa menerima diri kita sendiri, dan pada akhirnya mencoba untuk lari dari realitas yang ada. Padahal, selama kita mencari hakikat cinta tersebut selayaknya kita memberikan ruang kepada diri kita sendiri agar mencari tahu tentang diri kita sendiri.
Self love menjadi sesuatu yang penting untuk keberlangsungan hidup manusia. Bukan bermaksud untuk menjadi pribadi yang egois, tetapi semestinya kita juga tahu apa yang menjadi kebutuhannya, dan di sini kita tidak hidup untuk memuaskan seseorang, karena kita sendiri bukanlah makhluk pemuas. Jadi, terkadang untuk menggapai apa yang kita inginkan perlu untuk internalisasi dan menanamkan di dalam diri kita untuk menggapai kebahagiaan sebanyak-banyaknya dan menjadi seseorang yang tidak hanya mencintai dirinya sendiri, tetapi ia wujudkan cinta itu untuk cita-cita dan impiannya.[]
Referensi
Mark Manson. 2016. The Subtle Art Of Not Giving A Fuck. San Francisco : HarperOne.
Meggan Watterson, Lodro Rinzler. 2015. How to Love Yourself (and Sometimes Other People): Spiritual Advice for Modern Relationships. USA : Hay House Inc.
Puty Karina Puar. 2017. Happiness Is Homemade. Bandung : Penerbit Mizan
Shannon, Kaiser. 2019. The Self-Love Experiment: Fifteen Principles for Becoming More Kind, Compassionate, and Accepting of Yourself . USA : TarcherPerigee
Share this content:
Post Comment