Memaknai Umur
Jika kita sedang menghadapi hidup di dunia, terkadang kita tidak pernah tahu apa hidup yang kita jalani ini. Apalagi berkaitan dengan umur?. Misalnya saya yang sekarang ini sedang berulang tahun, tidak ada yang tahu apakah saya bisa lebih baik, atau justru saya lebih buruk daripada sebelumnya. Karena meskipun kita adalah penggerak dari tubuh kita sendiri, pada akhirnya kita mungkin akan terlena atau mengikuti authorize yang sudah di tentukan yaitu Tuhan.
Bagi kita yang sudah terbiasa akan faith kepada Tuhan, mungkin kita akan terus berdoa agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Meskipun berdoa saja tidak cukup, sering kali peran manusia sebagai eksistensi dibutuhkan agar doa tersebut menjadi kenyataan. Dan bagi orang-orang yang tidak percaya akan Tuhan, ia akan menjalani hidupnya seperti film-film, yang tidak menampakkan ritual ibadah dan sebagainya.
Mengapa Kita Hidup?
Pertanyaan ini sebenarnya bukan untuk dijawab secara harfiah, karena sebagian besar jawabannya hanyalah bersifat pragmatis dan sementara. Selain itu hidup tidak hanya sekadar hidup dan bekerja, jikalau begitu itu sama saja dengan binatang seperti yang diibaratkan oleh Prof. Dr. Hamka berkenaan dengan hidup manusia. Tidak jarang, banyak mempertanyakan tujuan ia sebenarnya? Namun pernahkah kita bertanya, mengapa kita hidup sampai sekarang ini? Jikalau kita pernah mempertanyakan demikian, maka anda sama seperti Filsuf, jika dalam tipe kecerdasan Howard Gardner, anda sudah berada di bagian Eksistensial.
Manusia sebagai eksistensi memang memberikan ruang akan keunikan, termasuk juga dengan perbedaan usia yang kita alami bersama dengan orang lain. Karena baginya hidup sering memiliki interpretasi yang berbeda-beda dan Psikologi menghendaki hal tersebut sebagai bagian dari hidup manusia. Maka dari itu, kita setidaknya memberikan ruang bagi kita untuk berbeda dengan makhluk kebanyakan dan itulah yang mesti didengungkan agar menjadi makhluk yang otentik dan umur kita tidak terbuang sia-sia.
Pada Akhirnya Mati
Satu hal yang menurut banyak orang tabu untuk dibicarakan adalah kematian, mengapa demikian? Padahal, setiap makhluk baik yang sempurna maupun tidak akan mengalami demikian. Setidaknya kematian mengajarkan akan kebijaksanaan dalam hidup, termasuk dalam umur, bagaimanapun tidak ada yang mengetahui kapan batas umur tersebut, sampai kita merasakan sendiri akhir dari hidup. Hal ini memang menjadi rahasia umum bahkan dalam hal ini, menjadi bagian renungan kita semua bahwa kita tidak akan kekal (umur kita sementara).
Dari berbagai macam sejarah yang kita lewati hingga sekarang ini, kematian lebih sering mengarah ke Statistik. Mungkin ini yang dibilang oleh Joseph Stalin kematian satu orang adalah tragedi sedangkan banyak orang adalah angka statistik. Jika kita perhatikan lebih lanjut, kebanyakan manusia meninggal karena peperangan yang berlangsung lama, dan hidup mereka setidaknya memiliki teleologi (akhir dan tujuan) yang lebih mengarah kepada teologi.
Harus Bagaimana?
Memaknai umur tidak seperti memakan ice cream yang begitu enak, namun kita mesti memperhatikan efek samping dari memakan lezat tersebut, ya paling tidak, untuk jadikan pelajaran bahwa hidup tidak hanya sekadar kenikmatan, dan umur yang kita hadir saat ini adalah saksi mata bahwa kita pernah menjalani hidup baik itu susah maupun duka.[]
Share this content:
Post Comment