Menikah : Idealistis vs Realistis
Pernikahan memang menjadi fenomena yang selalu hadir di dalam setiap kehidupan manusia, ia tidak hanya sebagai menyambungkan kedua keluarga yang awalnya berbeda, dan dipersatukan dengan ikatan yang kita sebut dengan pernikahan. Menarik dan juga unik, mengapa Tuhan menciptakan manusia untuk di persatukan, tapi pertanyaan sekarang adalah, apakah pernikahan itu hanya sekadar demikian?. Bila terfokus dengan jawaban tersebut maka saya pun tidak ingin menikah, karena menyambungkan adalah perkara yang mudah seperti layaknya Silahturrahmi, di dalam Islam. Tetapi, sangat sulit untuk dipertahankan sebuah ikatan tersebut yang memang harus dipertahankan.
Namun, jika kita perhatikan dalam sebuah Hadits Nabi yang mengungkapkan bahwa perempuan itu dinikahi oleh beberapa hal, yaitu hartanya, parasnya, keturunannya, dan agamanya. Seingat saya, agama disebutkan terakhir oleh Nabi Muhammad di dalam haditsnya, dan saya meyakini ada sebuah interaksi simbolik di dalam hadits tersebut. Lebih detail hadits-nya berbunyi seperti ini :
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam beliau bersabda: “Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR Bukhari : 4700)
Saya memandang hadits tersebut sebagai interaksi simbolik yang begitu nyata dan sangat berkaitan dengan realitas sosial yang hadir di abad 21 ini.
Idealistis vs Realistis
Secara idealnya, memang betul Nabi Muhammad memprioritaskan agama di atas apapun, namun biasanya, sebelum menikahnya seseorang yang ditanya oleh sebagian besar yang lain yaitu tentang ia anak siapa? keturunan siapa? atau yang lebih sering ditanya pekerjaannya apa?, dan sangat sedikit yang mempertanyakan tentang keseriusan seseorang mendalami agamanya. Hal ini secara tidak langsung hadits tersebut bisa juga sebagai interaksi simbolik yang berorientasi di masa yang akan datang (walaupun sebagian kecilnya banyak yang memilih agama-nya). Mari kita sambil mencocokkan hadits tersebut dengan realitas sosial yang ada.
Walaupun demikian, kedua keadaan tersebut sama-sama benar, yang ideal nya memilih agama sebagai landasan dasar untuk menikah adalah suatu yang sangat di hormati dan menunjukkan kehambaan seseorang kepada Allah dan memilih agama sebagai jalan keluar. Tidak heran juga, banyak yang memilih menikah karena agama, dan semakin banyak berkah, walaupun bukan berbentuk harta benda, tetapi mungkin berbentuk kehormatan, karena sangat langka sekali kehormatan itu di dapatkan, karena uang bisa di cari sedangkan kehormatan sangatlah sulit untuk di dapatkan, dan juga kita mesti mendapatkan respect dari orang lain.
Saya pun juga menghargai pernikahan yang karena realistis, karena segala sesuatunya perlu persiapan dengan matang. Ibarat ingin mempersiapakan bekal untuk pergi ke gunung, setidaknya kita persiapkan dari budget dan possibillity yang ada, dan kesemuanya itu memang perlu dipikirkan. Namun, kita tidak boleh menutup mata dan pendengaran kita bahwa Tuhan sudah memastikan hidup seseorang (alias Rizki). Dan semuanya juga tergantung pada diri kita sendiri, agar ingin pernikahan itu secara apa. Akan tetapi, pernikahan itu bukanlah sesuatu yang main-main dan sekadar hanya ingin bersenang-senang, karena di dalamnya ada terdapat ujian kepatuhan kepada Tuhan dan Rasul-Nya, ujian kehormatannya sebagai satu keluarga, ujian manajemen dalam mempersiapkan masa depannya, dan ujian intelektual, dalam rangka memberikan edukasi kepada keluarganya nanti.[]
Share this content:
Post Comment