Loading Now

Renungan Puisi Khalil Gibran Tentang Anak dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam

Anakmu Bukanlah Milikmu

Anak adalah kehidupan,
Mereka sekedar lahir melaluimu tetapi bukan berasal Darimu.
Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu,
Curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan Pikiranmu
karena mereka Dikaruniai pikiranya sendiri
1

Puisi dari Khalil Gibran yang sangat unik ini sekilas kita seperti melihat adanya kemerdekaan dari studi mengenai Parenting anak. Dari bait pertama yang saya kutip di atas, merupakan ekspresi kesadaran tentang anak bukanlah seperti barang/materi. Padahal, anak adalah bagian dari kehidupan kita, boleh dikatakan realitas anak-anak menjadi 3 hal yaitu anak sebagai bagian orang tua, anak sebagai bagian kebebasan dan anak sebagai bagian insan.

1. Anak Sebagai Bagian Orang Tua

Dalam istilah ini mungkin kita bisa katakan sebagai anak sebagai bagian biologis dari orang tuanya. Meskipun di dalam perkembangan Biologis, anak akan cenderung kepada ayahnya dalam fisik, sedangkan dalam aspek Psikologis ia akan cenderung dengan Ibunya. Kendatipun demikian, mereka juga bagian dari kehidupan sang anak. Pada realitasnya, ketika kita mengatakan bahwa itu adalah anak kita, seakan-akan kita seperti mengetahui tentang Si Anak. Ternyata, dan secara khususnya kita tidak akan pernah mengetahui keinginan anak sampai Si Anak mengatakannya langsung. Kita semestinya mengingat, bahwa anak adalah titipan Tuhan, bukanlah milik orang tuanya. Kahlil Gibran sepertinya edukasi lewat puisinya mengenai anak, dan memberikan Si Anak tentang pentingnya kebebasan kepada anak dan menyangkal adanya pengekangan.

2. Anak Sebagai Bagian Kebebasan

Mungkin ini akan menjadi bagian yang kontroversial dari pembahasan kali ini. Kita sering kali melihat anak kecil bertanya kepada orang-orang yang lebih tua dan bebas untuk mengeksplorasi apa yang ia mau, dan terkadang kita sendiri sebagai orang yang lebih tua langsung tidak memberikan ruang bagi anak untuk itu. Perlu kita renungkan lagi, bahwa anak itu adalah titipan dari Allah dan kita hanya diamanahkan untuk membesarkannya dengan sepenuh hati. Tapi, perlu kita ketahui, untuk memberikan ruang kebebasan bagi anak dengan memberikan akses seluas-luasnya pengetahuan adalah kunci bagi mereka untuk mengerti akan masa depan. Tugas kita yang lebih tua adalah memberikan pemahaman dan klarifikasi pengetahuan dari mereka. Sama seperti istilah yang digunakan oleh Kurikulum 2013 yang menekankan pembelajaran yang awalnya Teacher Centre2 menuju pada Student Centre3. Hal ini teringat dengan teori Posmodernisme yang menekankan tentang pentingnya pengalaman di setiap individu dan kebenaran yang berasal dari masing-masing personal.4 Adapun Garreth Matthews pernah mengungkapkan bahwa sejatinya anak-anak pun berfilsafat5, yang dimaksud berfilsafat di sini adalah keinginan anak-anak untuk mengetahui segala hal. Dalam hal ini Khalil Gibran memberikan pemahaman bahwa anak bukanlah objek yang mesti mendapat pengekangan karena pada dasarnya ia ingin mengetahui segala hal, walaupun dengan memperhatikan yang baik untuk anak.

3. Anak Sebagai Bagian Insan

Anak-anak juga manusia, dan ia pasti melakukan suatu kesalahan baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Akan berbeda cerita jika anak-anak berubah menjadi Malaikat. Sebagai bahan renungan yang selanjutnya adalah kita mesti menyadari bahwa yang namanya anak juga pernah melakukan kesalahan. Terlepas dari itu, akan menjadi penentuan dari perkembangan Si Anak adalah bagaimana setelah kita mengetahui ketika anak melakukan kesalahan, mungkin akan menjadi dua kemungkinan. Pertama, kita akan sontak langsung memarahinya. Kedua, kita membimbing dan memberitahukan kepada anak tentang kesalahannya dengan penuh kasih sayang. Saya sempat membuat soal Ulangan Akhir Semester yang salah satu pertanyaannya adalah “Orang Tua wajib kita?” meskipun pertanyaannya sangat-sangat mudah jika kita menggunakan akal kita untuk mendapat nilai, tapi ada beberapa anak yang menjawab “Marahi” bahkan ada yang “Benci”. Saya tidak tahu persis apa yang dialami oleh Si Anak tetapi, dalam hal ini boleh jadi menjadi realitas yang mencengangkan. Maka dari itu, saya hanya memberi dua kemungkinan. Jika kita melihat anak kita melakukan kesalahan lalu kita memarahinya, maka tidak heran bahkan sering kali kita sebagai yang tua akan dianggap sebagai threat bahkan enemy. Ingat dengan pepatah. Sedangkan, jika kita justru membimbingnya dengan tulus kasih sayang, maka tidak heran anak akan menjadikan Orang Tua sebagai Role Model. Maka dari itu, perlu diingat dari kata pepatah ini “Apa yang kamu tanam, itulah yang kita Tuai” 6

Relevansi Puisi Khalil Gibran dengan Pendidikan Islam

Khalil Gibran dalam puisinya memiliki makna tersendiri, bahkan saya pribadi mencoba untuk memaknainya di dalam Pemikiran Islam yang justru di dalam puisinya yang berjudul “Anakmu Bukan Milikmu” memiliki nilai renungan yang sangat mendalam. Terlebih lagi di dalam dunia parenting. Adapun menurut Imam Ghazali Anak adalah titipan Allah untuk orang tuanya. Hati sucinya adalah permata yang berharga, namun murni dan tidak berbentuk.7 Maka dari itu, kita sebagai orang yang lebih tua (Orang Tua, Paman, Bibi atau yang lebih tua lainnya) setidaknya akan menjadi grand desain bagi Si Anak, apa yang ingin kita jadikan. Tetapi perlu kita perhatikan bahwa mereka adalah manusia sama seperti kita. Di tambah lagi dengan adanya realitas bahwa ia adalah titipan dari Tuhan, yang mestinya membuat kita lebih berhati-hati untuk membentuk anak, karena anak sendiri bisa menjadi ujian bagi kita seperti yang ada di dalam Al-Quran : “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”8

Prof. Hamka menerangkan di dalam Tafsirnya Disengaja atau tidak, istri dan anak bisa menjadi musuh. Setidaknya itu adalah musuh yang menghalangi cita-cita Anda. Ibnu Abbas mengatakan bahwa semakin lama beberapa penduduk tinggal di Mekah dan semakin lama mereka meninggalkan Nabi, semakin banyak kebenaran dan kemuliaan yang dia rasakan setelah Nabi dan para sahabat setianya hijrah ke Madinah. Karena itu, mereka ingin memeluk Islam dan mengikuti Nabi s.a.w. mengikuti. Namun, setelah dia menyampaikan niat ini kepada istri dan anak-anaknya, mereka menolak untuk membuat suami dan ayahnya taat Islam dan pergi ke Madinah bersama mereka. Besar kemungkinan mereka mengalami kesulitan meninggalkan harta bendanya di Mekkah dan tidak sanggup menanggung penderitaan ketika hijrah. Mereka yang mengaku beriman terkejut mendengar teman-teman ekspatriat mereka memiliki pemahaman agama yang banyak padahal mereka jauh tertinggal. Tapi istri dan anak-anaknya tidak menyukainya, jadi dia termasuk orang yang ingin menghukum mereka. Ibnu Abbas mengatakan itulah alasan mengapa ayat ini turun. Sebuah peringatan bahwa istri dan anak-anak terkadang berada di antara musuh, musuh ambisi. Oleh karena itu, orang-orang beriman diperintahkan untuk berhati-hati terhadap istri dan anak-anaknya agar tidak mengganggu keimanannya.9

Meskipun konteks ayat ini lebih bersifat historis, tetapi perlu ditekankan. Dalam dunia parenting, anak akan menjadi musuh yang seutuhnya jika kita justru menjadikannya musuh dalam hal ini terlalu biasa untuk melakukan didikan yang otoriter. Walaupun demikian, Anak juga bisa sebagai penenang hati, penyejuk jiwa, dan pemimpin orang-orang yang bertakwa.10 Prof Hamka juga menjelaskan mengenai ayat tersebut lbadur Rahman (orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati.) selalu berdoa kepada Tuhan agar istri dan anak-anaknya menjadi obat bagi buah mata, obat demam, obat segala luka jiwa, obat segala kekecewaan dalam hidup. Tidak peduli seberapa saleh dan religiusnya seorang ayah, jika kehidupan putranya tidak mengikuti sistem yang telah dia bangun, dia tidak akan bahagia dengan mata tertutup. Hal yang sama berlaku untuk suami. Sekeras apa pun hati suami berusaha meneguhkan keutamaan, jika istri tidak bereaksi, hati suami akan tersakiti. Keseimbangan kemudi di rumah adalah kombinasi arah dan tujuan. Kehidupan Islam adalah kehidupan Jama’ah, bukan kehidupan nafsu.11

Kemudian, apa yang mesti kita lakukan? Sebagai personal, anak adalah bagian dari kehidupan ini yang mesti kita didik dengan penuh kasih sayang. Sebab, jika kita mendidiknya dengan penuh kekerasan, boleh jadi anak akan menjadi musuh yang nyata bagi orang tua dan sektiarnya. Sebaliknya, jika memberikan perhatian yang intense kepada anak dan memberikan mereka rasa kasih sayang, maka akan terciptanya anak sebagai anak yang penenang hati dan jiwa, karena kita membiasakan sang anak untuk menjadi pribadi yang tenang dan penyejuk bagi orang lain. Adapun figur orang tua menjadi salah satu alasan karakteristik anak, karena kemampuan anak dalam menirukan setiap hal yang dilakukan oleh orang tua, dan anak di masa kecil akan sangat mudah untuk menirukannya.12

Referensi

[1] Gibran, Kahlil (2019). Setitis Air Mata, Seulas Senyum. Yogyakarta: Checklist.
[2] Neil, Roger. “Current models and approaches to in‐service teacher education.” Journal of In-Service Education 12.2 (1986): 58-67.
[3] Krahenbuhl, Kevin S. “Student-centered education and constructivism: Challenges, concerns, and clarity for teachers.” The Clearing House: A Journal of Educational Strategies, Issues and Ideas 89.3 (2016): 97-105.
[4] Krahenbuhl, Kevin S. “Student-centered education and constructivism: Challenges, concerns, and clarity for teachers.” The Clearing House: A Journal of Educational Strategies, Issues and Ideas 89.3 (2016): 97-105.
[5] Matthews, Gareth B. Philosophy and the young child. Harvard University Press, 1980.
[6] Rahmah, Nadiati Namii. Babaleh Tikam. Diss. Institut Seni Indonesia Padangpanjang, 2020.
[7] Haya Binti Mubarok al-Barik, Mausu’ah al-Mar’atul Muslimah, Terj. Amir Hamzah Fachrudin, “Ensiklopedi Wanita Muslimah”(Jakarta: Darul Falah, 1998),247.
[8] Al-Quran Surah Ath-Taghabun ayat 14 dan 15
[9] Amrullah, Abdul Malik Abdul Karim. “Tafsir Al-Azhar.” Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD (2003) : 7444
[10] Al-Quran Surah Al-Furqan ayat 74
[11] Amrullah, Abdul Malik Abdul Karim. “Tafsir Al-Azhar.” Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD (2003) : 5065
[12] Rozaq, Abdul. “Pendidikan Moral Anak Pilar Utama dalam Keluarga.” Tarbawi: Jurnal Pendidikan Islam 10.2 (2013).

Share this content:

Post Comment