Stereotyping Ethnic : Kajian Singkat Dalam Perspektif Sejarah
Sejujurnya, ini adalah tulisan yang sekaligus memberikan pembelajaran mengenai eksistensi seseorang yang sering kali dianggap sebelah mata oleh sebagian orang lain. Jika kita pernah mendengar kata stereotipe ini bukan hanya pertama kali di tahun 2021. Sebelum itu mari kita mengetahui lebih lanjut apa itu stereotipe. Ungkapan stereotip berasal dari kata sifat Perancis stéréotype dan berasal dari kata Yunani στερεός (stereos), “tegas, padat” dan τύπος (typos), kesan, karenanya “kesan kokoh pada satu atau lebih gagasan / teori.”
Lebih lanjut lagi Fenomena stereotip telah dipelajari sejak awal tahun 1900-an (Allport, 1954) dan, bahkan hingga saat ini, fenomena tersebut ada dalam masyarakat yang lebih luas serta dalam banyak organisasi di seluruh dunia (Jussim, 2012; Mullins, 2010). Berbagai macam individu biasanya distereotipkan, seperti, antara lain, manajer, supervisor dan individu dari berbagai kelompok demografis, seperti ras, jenis kelamin dan usia (Luthans, 2010).
Stereotip semacam itu dapat menyebabkan konsekuensi negatif dalam domain seperti tempat kerja. Hal tersebut dapat menimbulkan masalah seperti keputusan yang tidak cerdas, masalah dengan komunikasi dan secara umum berkontribusi pada pembentukan pendapat dan keyakinan yang berbeda tentang individu atau karyawan yang berbeda dari diri kita sendiri (Jenifer & Raman, 2015). Akibatnya, organisasi menjadi lebih fokus pada pengelolaan stereotip ini dan konsekuensi negatifnya.
Hal ini sama seperti yang dialami oleh etnis-etnis, bahkan generalisasi yang biasa menjadi ungkapan stereotip selalu dikatikan dengan suatu kelompok yang pada akhirnya dikategorikan memiliki karakteristik yang sama rata. Stereotipe dapat dikaitkan dengan semua jenis keanggotaan budaya, seperti kebangsaan, agama, jenis kelamin, ras, atau usia. Selain itu, stereotip bisa jadi positif atau negatif.
Salah satu contoh berbicara tentang orang Madura, sering kali yang terlintas di dalam pikiran orang-orang luar Madura, mayoritasnya menganggap mereka dikenal sebagai orang yang dilabeli dengan kekerasan, angkuh, egois, mau menang sendiri, cepat tersinggung dan suka berkelahi. Dan saya pun mendapatkan pengetahuan yang demikian, akan tetapi apakah pengetahuan tersebut bisa menjadi sepenuhnya pengetahuan? Saya kira kita tidak bisa menilai sesuatu dari manusia, karena manusia sendiri adalah makhluk yang bisa berubah-ubah.
Pertemuan saya dengan orang-orang Madura dan cerita dari mereka yang sempat saya kunjungi di Balai Pertemuan Adat Madura senantiasa membuka cakrawala kita tentang pengetahuan budaya yang serba relatif dan tidak bersifat menetap. Bagaimanapun, kita tidak bisa memberikan stigma ataupun label kepada orang dengan melihat satu sisi saja. Bagi saya pribadi, stereotipe yang mengada-ngada adalah sesuatu yang tidak tepat untuk ditargetkan kepada personal, karena sangat tidak adil bagi seseorang yang dikenal baik tetapi karena stereotipe semuanya menjadi serba ketakutan dan permusuhan, apakah kita masih teori Samuel Huntington di dalam bukunya The Clash Of Civilization yang sarat akan permusahan kita gunakan untuk keseharian kita? Let’s rethinking again!
Referensi :
Allport, G.W. (1954). The Nature of Prejudice. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Huntington, S. (1996). The Clash Of Civilization and The Remaking of World Order. United States, USA : Simon & Schuster Press
Jussim, L. (2012). Social Perception and Social Reality: Why Accuracy Dominates Bias and Self-Fulfilling Prophecy. New York, NY: Oxford University Press.
Luthans, F. (2010). Organizational Behaviour: An Evidence-based Approach. (12th edn.). New York, NY: McGraw Hill.
Mahardika, A.M. –. Pemaknaan Orang Madura Terhadap Stigma Yang Diberikan Oleh Masyarakat Etnis Lain. —
Mullins, L.J. (2010). Management and Organisational Behaviour. (9th edn.). Harlow, England: Pearson Education Limited.
Wikipedia contributors. “Stereotype.” Wikipedia, The Free Encyclopedia. Wikipedia, The Free Encyclopedia, 21 Feb. 2021. Web. 6 Mar. 2021.
Share this content:
Post Comment