Loading Now

Tentang Manusia : Renungan Hadits Nabi Muhammad dan Pemikiran Jean Paul Sartre

 

Desain%2Btanpa%2Bjudul%2B%25283%2529 Tentang Manusia : Renungan Hadits Nabi Muhammad dan Pemikiran Jean Paul Sartre

Sumber Gambar : Canva

Pendahuluan

Sebagaimana kita ketahui, bahwa manusia terkadang relatif di dalam setiap kegiatannya, mulai dari keputusan yang akan ia ambil hingga sikap hidupnya. Meskipun demikian, kita tidak bisa mengubah orang-orang yang ada di sekitar kita dengan pemikiran yang kita miliki. Adapun di dalam kasus yang lain, like and dislike misalnya, terkadang manusia sering berubah-ubah di dalam soal apa yang ia suka. Dahulu, ia senang dengan si “ini”, namun semakin lama akhirnya ia tidak peduli dengan si “ini”. Bagaimanapun itu itu adalah hal yang sangat wajar secara alamiah, adapun kali ini kita akan membahas dari dua perspektif yang berbeda yaitu dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dan filsuf Prancis yaitu Jean Paul Sartre.

Hadits tentang Like and Dislike

Bagi sebagian besar kita dalam memahami hadits ini lebih bersifat yang tidak mau ambil pusing yaitu tentang Cinta dan Benci. Namun, jika diperhatikan ini bukan hanya itu saja, tetapi bisa mengenai kagum dan suka (masih belum cinta). Mari kita perhatikan hadits ini :

Dari Abu Hurairah secara marfu’: “Cintailah orang yang kau cinta dengan sewajarnya, boleh jadi suatu hari dia menjadi orang yang kau benci. Dan bencilah kepada orang yang kau benci sewajarnya, boleh jadi suatu hari dia yang kau benci menjadi orang yang kau cinta” (HR Tirmidzi)

Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam berpesan kepada kita agar Cintailah orang yang pikir kita cintai tersebut dengan hal yang sewajarnyasaja. Akan tetapi, sesuatu tersebut boleh jadi kata Nabi suatu haridia yang kau cintai itu akan menjadi orang yang sangat engkau benci dikemudian hari. Tidak berhenti disitu saja, Nabi juga berpesan dan bencilah seseorang yang saat ini engkau benci, tapi suatu hari nanti kata Nabi dialah yang akan menjadi seseorang yang kau cintadikemudian hari.

Pesan apa yang kita dapatkan dari hadits Nabi tersebut, bahwa manusia tidak akan bersifat statis, dan manusia tidak mungkin bisa bersifat tetap karena ia sendiri bisa berubah-ubah sesuai dengan kehendaknya, termasuk mengenai rasa, baik itu rasa mengagumi, mencintai dan menyukai seseorang. Mungkin, dahulu kita sangat menyukai si fulan, tetapi lama kelamaan rasa suka itu menjadi rasa benci. Ingatlah satu hal, manusia bisa berubah kapan pun, dan di manapun.

Tapi kata Nabi, kita boleh saja menyukai dan mencintai seseorang, namun hal tersebut bisa dianggap sebagai sesuatu yang sewajarnya saja. Maka dari itu, kita setidaknya membaca penggalan ayat Al-Quran yaitu Surah Al-Baqarah ayat 216 yang berbunyi :

…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

 

Manusia menurut Jean Paul Sartre

Ada salah satu filsuf yang di abad 20 membahas perihal manusia sebagai apa di muka bumi ini, dan dia bernama Jean Paul Sartre. Dia adalah seorang filsuf Eksistensialisme yang sangat berpengaruh di masa itu pernah berbicara tentang manusia, dan beliau menyebut dengan istilah l’Etre pour soi. Apa maksudnya? Maksudnya adalah kita sebagai manusia yang pada dasarnya sangat memungkinkan untuk berubah, baik itu berupa fisik maupun pikiran.

Meskipun pemikiran Sartre ini lebih mirip dengan bersifat relatif, tetapi dalam wujud manusia Sartre mengungkapkan sesuatu yang menjadi renungan kita semua. Memang benar, ketika kita membahas tentang manusia tidak akan pernah habis, apalagi manusia selalu saja dibahas dari perspektif yang lain, seperti Ekonomi, Biologi, Psikologi, Hukum dan lain sebagainya. Bisa dikatakan, manusia itu sebenarnya hanya satu muka namun dengan berbagai macam wajah.

Analisis

 Jika kita perhatikan keduanya, ada yang menarik yaitu segala sesuatunya bersifat relatif dan dinamis. Mengapa demikian? Manusia diciptakan dengan cara yang unik, Tuhan awalnya menciptakan bangsa Jin dan Iblis yang pada akhirnya menjadi bangsa yang pembangkang, Tuhan menciptakan Malaikat yang senantiasa selalu tunduk dan patuh kepada Tuhan. Akan tetapi, Manusia adalah makhluk yang bisa saja ia taat kepada Tuhan, lalu ia akan menjadi seseorang yang melebihi Malaikat padahal ia bisa saja ingkar, tapi ia bisa juga sebaliknya.

Nabi Muhammad mengucapkan kalimat yang terekam di dalam hadits tersebut pada dasarnya ingin mengungkapkan bahwa untuk mencintai seseorang tidak perlu sampai berlebihan apalagi memujanya terlalu berlebihan, karena nantinya kita bisa saja sangat benci kepada seseorang yang kita benci karena suatu hal, dan berlaku juga sebaliknya. Saya teringat ketika bimbingan Skripsi dengan beliau, ia mengatakan Nabi Muhammad itu tidak hanya sebagai Nabi dan Rasul tetapi beliau juga sebagai Psikolog karena setiap apa yang ditanyakan kepada beliau, Nabi selalu menjawab dengan hal yang berbeda tergantung situasi yang dialami oleh yang ditanya.

Meskipun Sartre adalah seorang Ateis yang cukup laten, tetapi di dalam pemikirannya tentang manusia sangat patut apresiasi. Pemikirannya yang lebih mengarah kepada Eksistensialisme yang bercorak Humanisme, bisa dikatakan sangat otentik dengan apa yang ia pikiran tentang manusia yang pikirannya selalu berubah-ubah, terkadang berubah karena kondisi ataupun karena secara unpredictable.

Baik Nabi Muhammad maupun Sartre kelihatannya sama-sama memandang manusia sebagai makhluk yang unik dan berbeda meskipun sama-sama manusia itu sendiri. Kita bisa melihat secara kongkrit hadits Nabi yang sudah saya sebutkan di awal dengan pemikiran Sartre yang bertajuk l’Etre pour soi. Hal yang terpenting lagi adalah, kita jangan memandang seseorang darimana teritorialnya karena baik Timur maupun Barat adalah Bumi Allah Subhanahu Wata’ala.[]

Share this content:

Post Comment