Understanding Gen Alpha : Identitas dan Tantangan di Masa Depan
Pendahuluan
Generasi Alpha boleh dipandang sebagai Generasi Anak Kandung Internet, di era nya sudah tidak terbatas lagi hal-hal yang bersifat akses dunia di dalam genggaman. Peneliti generasi Mark McCrindle mengungkapkan untuk generasi Alpha diidentikan dengan generasi-generasi yang sudah memahami teknologi dan menjadi aktivitas mereka di dalam kesehariannya.1 Walaupun demikian, terkadang mereka juga masih belum menyadari akan hadirnya realitas yang akan dihadapi mereka bahkan tidak hanya dirasakan oleh mereka tetapi orang dewasa itu sendiri yaitu Simulakra. Mengenai simulakra, Jean Baudrillard seperti memberikan penegasan kepada kita semua tentang dunia realitas tanpa pemisah antara dunia maya dan dunia nyata.2 Meskipun kenyataannya seperti itu, semestinya Tri Pusat Pendidikan (Keluarga, Lingkungan Sekitar dan Sekolah)3 memberikan pendidikan yang bersifat filtering4 to know.
Generasi Alpha
Generasi Alpha lahir dari orang tua milenial dan diyakini lahir antara tahun 2010 dan 2025. Kelahiran ini cocok dengan melek teknologi dengan perkenalan mulai dari iPad dan Instagram. Ini adalah aplikasi merek dan media sosial terpopuler di dunia saat ini.5 Anda lahir di di era teknologi yang serba cepat dan canggih yang beroperasi 24/7 di seluruh dunia. Teknologi bagi generasi ini sangat berarti dunia bagi mereka. Dengan pandemi COVID-19, hidupnya berkutat pada teknologi, dari hiburan hingga game hingga kontak teman sebaya dan bahkan pendidikan.
Meskipun Generasi “Alpha” termasuk dalam kelompok yang lahir setelah tahun 2010, namun pemanfaatan teknologi, fasilitasi penelitian dan visi kritis sebagai ciri mereka sudah dapat ditonjolkan. Karena apresiasi alat teknologi dan manfaat komunikasi yang difasilitasi, di masa depan kontak fisik akan menjadi lebih dihargai6 karena mereka tidak akan mendapatkan pengalaman yang sama dengan generasi-generasi sebelumnya terkait hal-hal yang bersifat kontak fisik, seperti permainan yang memastikan mereka kontak fisik, karena mereka sudah cukup untuk interaksi dengan gadgetnya masing-masing.
Melihat dari karakteristik tersebut, topik mengenai relevansi teknologi dalam pendidikan telah menjadi lebih umum, dan generasi baru memiliki peluang besar untuk menggunakan teknologi, yang dapat bertentangan dengan metode pengajaran tradisional yang masih dikenakan pada generasi ini. Ada banyak tantangan yang harus diatasi, seperti sosial, lingkungan dan ekonomi, dan individu-individu ini perlu memiliki keterampilan memecahkan masalah, kreativitas, pengambilan keputusan, pemikiran kritis, fleksibilitas dan manajemen diri. Pahlawan dengan kemampuan seperti itu akan menjadi fondasi dan pendukung masyarakat masa depan.7
Mungkin di masa mereka yang akan datang, mereka tidak lagi berbicara tentang Artificial Intellegence, Cryptocurrency atau pun Nanotechnology, karena di masa ini juga bakal berkembang yang namanya Quantum Energy8. Sebagai gambaran, di tahun 2023 sampai 2025 akan dicanangkan mengenai Komputer Kuantum yang dianggap sebagai teknologi masa depan. Kita mungkin akan bertanya, boleh jadi Generasi Alpha tidak lagi seperti generasi sebelumnya yang mencoba untuk beradaptasi dengan teknologi, karena mereka sudah lebih dahulu menjadi bagian dari itu, tidak heran mereka jika mereka disebut anak kandung teknologi.
Tantangan Generasi Alpha
Tantangan yang paling mencolok di dalam Generasi ini adalah karakteristik yang rasanya sangat berbeda dengan pendahulunya. Boleh dikatakan tantangan dari Generasi Alpha ini bukan lagi terkait dengan eksternalnya melainkan dari sisi internalnya (psikologi). Berdasarkan beberapa literatur, karakteristik Generasi Alpha adalah sebagai berikut :
1. Mereka suka memerintah, dominan, dan suka mengatur. Anak Alpha merasa nyaman ketika menjadi orang yang terbiasa memerintah. Anak-anak lainnya bisa dibaratkan dengan induk ayam, suka memerintah dan mengurus orang lain, khususnya yang tidak berdaya. Hanya saja mereka juga terdorong untuk menunjukkan dominasi dengan mengeksploitasi kelemahan orang lain. Hal ini sebagai manifestasi mereka untuk menjadi yang pertama, terbaik, atau dikenal. Namun, tidak berarti mereka suka mem-bully.
2. Mereka tak suka berbagi. Anak-anak Generasi Alpha terlihat enggan berbagi. Mereka menekankan pentingnya kepemilikan pribadi. Mereka mungkin akan tak mampu lagi mengatakan, “Ini buat kamu”, dan akan lebih sering mengatakan, “Ini punyaku! Semua punyaku!”
3. Mereka tidak mau mengikuti aturan. Mama ingin mereka mewarnai gambar dengan rapi? Mereka pasti akan mematahkan crayon-nya. Apakah Mama ingin mereka memakai popok, bedong, jaket, atau mendudukkan mereka di kursi makan atau car seat, mereka selalu punya cara untuk meloloskan diri.
4. Teknologi menjadi bagian dari hidup mereka, dan tidak akan mengetahui dunia tanpa jejaring sosial. Anak Alpha sudah berkenalan dengan smartphone sejak bayi, dan tidak memandangnya sebagai sebuah alat. Teknologi akan terintegrasi begitu saja dalam hidup mereka. Mereka begitu mudah mengoperasikan smartphone yang bagi Mama terlihat rumit, dan lebih menyukainya ketimbang laptop atau komputer desktop. Mereka juga tertarik pada aplikasi yang menarik secara visual dan mudah digunakan, dan berharap semuanya dibuat sesuai kebutuhan mereka.
5. Kemampuan berkomunikasi langsung jauh berkurang. Meskipun penggunaan teknologi dapat menawarkan banyak informasi, hal itu juga memberikan dampak yang kurang baik. Anak Alpha jadi sangat jarang berinteraksi langsung dengan orang lain karena sibuk dengan gadgetnya. Hal ini dengan sendirinya akan membuat kepedulian dan kemampuan berkomunikasi mereka berkurang.9
Berdasarkan kelima karakteristik yang setidaknya mewakili dari realitas Generasi Alpha setidaknya tantangan yang mesti dihadapi adalah sebagai berikut :
1. Tantangan pertama tentang mengenai diri sendiri yang sepertinya memiliki hal yang kesamaan dengan generasi sebelumnya yaitu Baby Boomber secara dalam hal psikologis seperti terbiasa untuk memerintah orang lain. Diperlukan parenting yang dapat memberikan pemahaman kepada anak tentang awareness misalnya memberikan edukasi tentang pentingnya orang lain di dalam hidup, bukan sebagai alat melainkan sebagai manusia.
2. Tantangan kedua yaitu Selfish10 (Egois yang tak terbendung), karena mereka adalah seseorang yang selalu memerintah dan sangat jarang untuk memberikan sesuatu untuk orang lain. Maka dari itu, mereka juga membutuhkan pembelajaran yang bersifat altruistik (lawan dari Egois). Di dalam menyikapi hal ini mungkin kita bisa memberikan pemahaman kepada anak bahwa kita adalah Makhluk Sosial11 dengan individu yang saling membutuhkan satu sama lain.
3. Tantangan ketiga yaitu Anarchism12 and Rebel13 yang boleh dikatakan mereka tidak ingin mengikuti aturan dan terbiasa dengan pemberontakan. Untuk mengatasi hal ini, setidaknya kita perkenalkan kepada mereka mengenai aturan dan urgensinya tentang itu. Aturan bisa jadi digunakan berkenaan dengan kenyamanan orang lain dan kita sebagai old person memberikan contoh kepada mereka tentang taat aturan, dan yang paling ampuh adalah aturan sekolah.
4. Tantangan keempat yaitu Maniac Tech. Teknologi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Generasi ini, dan mereka seperti kehilangan nyawa jika tidak ada yang namanya teknologi, apalagi sejak bayi mereka dibiasakan untuk menggunakan smartphone dengan maksud untuk tenang. Padahal uniknya, anak-anak dari pengembang teknologi tidak memberikan akses teknologi sampai mereka sudah matang dalam berpikir.
5. Tantangan kelima yaitu kecenderungan Anti-Sosial14 ketika mereka berada di dalam realitas yang nyata, seketika mereka langsung berkurang dari segi komunikasi. Mereka lebih terbiasa dengan realitas maya (Cyberspace)15 jika dibandingkan dengan realitas yang sesungguhnya, ini akan membuka kemungkinan jikalau mereka akan lebih menyukai Metaverse. Pada akhirnya, mereka akan lebih percaya dengan dunia simulakra dibanding kenyataan yang sesungguhnya.
Berdasarkan tantangan di atas setidaknya yang menjadi concern dari tantangannya adalah mengenai Personal Psychology bila dibandingkan dengan kebutuhan eksternal (yang dimaksud dengan Hierarki Kebutuhan16) karena mereka sendiri seperti sudah meraskan hadirnya kebutuhan itu kecuali Aktualisasi Diri yang kita lihat tantangannya justru akan merasakan kesulitan karena kemamapuan hadir bersama orang lain dan berkomunikasi yang tidak menjadi prioritas bagi Generasi Alpha.
Kesimpulan
Berdasarkan analisa singkat, Generasi Alpha merupakan generasi yang sebenarnya semua serba kemudahan mulai dari akses informasi sampai teknologi. Walaupun demikian, ada yang kurang dari generasi ini mengenai kehidupannya bersama dengan manusia lain yang membuat mereka lebih menikmati gadget nya dibandingkan dengan teman atau teman di sekolahnya. Dalam mempersiapkan semua tantangan tersebut, setidaknya membutuhkan effort yang lebih untuk bisa meyakinkan anak-anak Generasi Alpha untuk pentingnya mengetahui realitas mereka yang ada di sekitarnya dan mampu menjadi makhluk sosial yang berkembang.
Referensi :
[1] McCrindle, Mark, and Emily Wolfinger. “Generations defined.” Ethos 18.1 (2010): 8-13.
[2] Baudrillard, Jean. Simulacra and simulation. University of Michigan press, 1994.
[3] Sukmawati, Henni. “Tripusat Pendidikan.” PILAR 4.2 (2013).
[4] Pamungkas, Heru Wahyu, S. Sos, and M. Si. “Interaksi orang tua dengan anak dalam menghadapi teknologi komunikasi internet.” Jurnal Tesis PMIS Untan 1 (2014): 1-17.
[5] Jha, Amrit Kumar. “Understanding generation alpha.” (2020).
[6] dos Reis, Thompson Augusto. “Study on the alpha generation and the reflections of its behavior in the organizational environment.” Quest Journals J Res Humanit Soc Sci 6 (2018): 9-19.
[7] FURIA, F. Interview: Fernanda Furia and the importance of technology in education. Pedagogical Practices: Registers and Reflections, v.3, n.1, p.1-8, 2015.Available <http://www.colegionovotempo.com.br/praticaspedagogicas/index.php/
novotempo/article/view / 26/25.
[8] Kuantum diambil dari kata ‘kuanta’ yang berarti jumlah. Sedangkan dalam ranah fisika, kuantum memiliki arti unit energi terkecil yang gak bisa dibagi lagi menjadi bentuk lebih sederhana. Inti bahasan dari kuantum adalah energi, tapi dalam dunia mikroskopis yang gak kasat mata.
[9] Purnama, Sigit, U. Sunan, and K. Yogyakarta. “Pengasuhan Digital untuk Anak Generasi Alpha.” Al Hikmah Proceedings on Islamic Early Childhood Education 1.1 (2018): 493-502.
[10] Saya mengambil istilah ini dari Richard Dawkins yang di dalam bukunya berjudul The Selfish Gene
[11] Al-Farabi, Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah, (Beirut: Dar wa Maktabah Al-Hilal), hlm. 117.
[12] Anarchism merujuk pada Miller, David. Anarchism. London: JM Dent, 1984.
[13] Sedangkan Rebel saya merujuk pada Camus, Albert. The rebel: An essay on man in revolt. Vintage, 2012.
[14] Saya merujuk pada Millie, Andrew. Anti-social behaviour. McGraw-Hill Education (UK), 2008.
[15] Istilah cyberspace ini saya rujuk dari Nunes, Mark. “Jean Baudrillard in cyberspace: Internet, virtuality, and postmodernity.” Style (1995): 314-327.
[16] Maslow, Abraham. “Maslow’s hierarchy of needs.” Psychology 4 (1943): 16.
Share this content:
Post Comment