Sumber Gambar
https://public.urbanasia.com/images/post/2020/08/19/1597826908-tilik.jpg
Pendahuluan
Sebuah film yang menarik, setidaknya ada salah satu poin yang dapat memberikan pesan ataupun ungkapan tak langsung dari sebuah film tersebut. Dari film tersebut, penonton akan memberikan pandangan yang berbeda-beda mengenai sebuah film. Ada benarnya juga Jacques Derrida dalam mengungkapkan Teori Dekonstruksi yang mengungkapkan sebuah teks (baik itu berbentuk bahasa maupun gerak manusia) awalnya tidak memiliki makna, dan ia menjadi memiliki makna ketika si pembaca/penonton itu sendiri yang memberikan interpretasi itu sendiri.
Interpretasi dari film tersebut yang membuat aneka warna di dalam film tersebut. Meskipun ada yang menganggap positif karena mencari sudut pandang yang unik dan berbeda, walaupun ada yang menganggap film tersebut negatif karena sosial komunikasinya atau apapun itu yang berkaitan dengan apa yang ditontonnya. Bagaimanapun, realitas mengenai tafsiran sebuah film tetap akan berbeda, meskipun banyak yang sepakat. Kendatipun, film tersebut dianggap negatif, paling tidak ada memiliki nilai-nilai dan pelajaran yang bisa diambil dari sebuah film.
Apa Itu Tilik?
Tilik menjadi perbincangan yang sangat fenomenal dan membuat orang-orang penasaran dengan istilah Tilik saat film pendeknya diluncurkan. Dari beberapa referensi yang saya baca, Tilik merupakan tradisi menjenguk seseorang dengan masa yang cukup ramai. Jika dilihat dari sisi kemanusiaan, budaya ini sangat kental dengan membantu meringankan beban seseorang yang kita jenguk. Tilik sendiri bisa dikatakan sebagai tradisi yang sangat unik, menurut Wahyu Agung Prasetyo yang merupakan Alumni Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Tilik merupakan tradisi yang terbilang unik, dan sangat dekat dengan masyarakat. Tradisi Tilik menurutnya hanya ada di Indonesia dan tidak ada di Eropa maupun Amerika sekalipun.
Bagi kita yang beragama Islam pasti teringat dengan hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam berikut :
Hak seorang Muslim atas Muslim lainnya ada enam : Jika engkau bertemu dengannya, maka ucapkan salam, jika dia mengundangmu, maka datanglah, jika dia minta nasehat maka berilah nasehat, jika dia bersin dan mengucapkan hamdalah maka balaslah (dengan doa : Yarhamukallah), jika dia sakit maka kunjungilah, dan jika dia meninggal maka antarkanlah (jenazahnya ke kuburan). (HR Muslim)
Setidaknya, budaya Tilik memiliki kesamaan dengan hadits tersebut yaitu menjenguk orang sakit, apalagi jika yang sakit tersebut adalah saudara seiman kita sendiri. Hal inilah yang mengingatkan saya pada hak dan kewajiban sebagai seorang Muslim untuk selalu memberikan semangat kepada orang yang kita jenguk.
Tilik Sebagai Komedi
Film Pendek yang bertajuk kehidupan sosial di Indonesia ini, bukan hanya sekadar film pendek semata, melainkan menawarkan aneka komedi yang senantiasa membuat penonton tertawa melihatnya, apalagi gerak langkah Bu Tejo yang begitu membuat geleng-geleng kepala melihatnya. Kemudian penggunaan bahasa Jawa yang cara penuturannya begitu menggelitik dan dibumbui dengan komedi yang membuat penonton pasti tertawa melihatnya.
Tidak terlepas dari keunikan film tersebut, tampaknya jika penyebutan bahasa yang membuat tergelitik ketika kita mendengarnya, dengan keseluruhan bahasa Jawa yang di dalam filmnya, meskipun menghadirkan bahasa Indonesia sebagai subtitle nya membuat penonton juga ikutan tertawa tapi sekaligus sebel karena tingkah Bu Tejo yang berbicara membabi buta. Dan hal ini akan menjadi menarik karena sering dikaitkan dengan Stereotipe ibu-ibu yang terkenal dengan gosip dan ghibah-an tanpa henti.
Tilik Sebagai Stereotipe
Seperti yang saya sebutkan di atas, sebenarnya salah satu fakta utama di dalam masyarakat kita mengenai ibu-ibu adalah selalu gosip dan ghibah-an. Hal ini menjadi salah satu stereotipe di Indonesia mengenai ibu-ibu yang banyak sekali mendapat stereotipe baik itu dari media sosial maupun dari ungkapan banyak orang. Meskipun begitu, jika kita melihat lebih dalam lagi, tidak semuanya ibu-ibu gemar gosip dan ghibah, akan tetapi ini sudah menjadi ungkapan yang sering dilontarkan.
Di dalam film Tilik setidaknya, bisa lebih menyadarkan kita betapa pentingnya moral, meskipun moral dalam berbicara. Hal ini mengingatkan saya kepada Imam Syafi’i, “Lidahmu jangan engkau gunakan untuk menjelekkan orang lain, karena engkau memiliki kekurangan dan orang lain punya lidah.” Setidaknya pesan moral yang terkandung tersebut lebih menyadarkan kita mengenai hal tersebut. Mengenai stereotipe, saya pikir sudah seharusnya kita tidak terlalu cepat untuk melabelkan ibu-ibu sebagai tukang gosip karena banyak sekali ibu-ibu yang tidak terbiasa bahkan tidak mau diajak gosip.
Tilik Sebagai Satire
Setidaknya ada beberapa poin yang menurut saya sendiri sebagai Satire. Pertama, Liberalisme, memang benar di Indonesia Liberalisme sudah menjadu sesuatu yang tabu untuk dibicarakan, namun anehnya kebanyakan dari orang-orang Indonesia mengaku anti-Liberalisme tetapi pada akhirnya melakukan tindak Liberalisme, meskipun bermakna ucapan yang begitu menyakitkan. Apalagi sesama Muslim saling membicarakan kejelekkan orang lain. Kedua, unfiltering source information.
Kedua, unfiltering source information, jika kita melihat akting dari Bu Tejo yang tidak henti-hentinya menjelekkan Dian dengan bermodal media sosial, hal ini membuat kita bertanya-tanya tentang realitas yang terjadi di Indonesia saat ini, yang lebih sering percaya dengan informasi yang nol bahkan lebih kecil dari nol. Hoax bukan hanya sekadar berita bohong, tetapi informasi yang diungkapkan tidak ada maknanya. Jika kita perhatikan bukunya Jean Baudrillard yang berjudul Simulacra and Simulation bahwa kenyataan setidaknya dibedakan menjadi dua jenis yaitu kenyataan yang benar-benar ada dan kenyataan yang bersifat diadakan.
Peperangan melawan Hoax masih menjadi PR bagi kita semua, bahkan tugas ini bukan untuk perorang tetapi persoalan bersama. Film Tilik bukan hanya sekadar menyediakan panggung hiburan, tetapi panggung moralitas yang sekarang ini dianggap sedang terpuruk (apa karena kurangnya Pendidikan Karakter dan Pendidikan Multikultural? Saya juga tidak bisa mengetahui hal ini).
Ketiga, Suap-Suapan, jika kita dapat memandang lebih lama lagi kita pasti teringat dengan scene yang memperlihatkan Bu Tejo memberikan beberapa emas kepada tukang supir dengan maksud agar Si Tukang Supir truk tersebut mau memilih suaminya Ibu Tejo untuk maju menjadi Lurah. Hal ini menurut saya juga menjadi sebuah satire telak karena di dalam praktek Politik, masih ada saja yang melakukan cara kotor untuk mendapatkan kedudukan. Padahal, hidup kita tidak akan abadi dalam jabatan dan pasti akan kembali lagi orang biasa, bahkan Camat (Calon Mati).
Keempat, Tuhan dan Moral Ucapan sudah Mati, jika kita pernah mendengarkan ungkapan terliar dari Nietzsche yaitu “Tuhan telah Mati, dan Tuhan tetap akan mati, karena kita telah membunuhnya.” Ungkapan tersebut tampaknya sangat relevan dengan film Tilik yang diambil dari sisi sosial tersebut. Ketika Tuhan berfirman di dalam Qs Al-Hujurat ayat 11 dan 12 :
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, boleh jadi mereka lebih baik dari mereka, dan jangan pula perempuan-perempuan mengolok-mengolok perempuan lain, boleh jadi perempuan yang diolok-olok lebih baik dari perempuan yang mengolok-olok. Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruknya panggilan adalah panggilan yang buruk setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak prasangka, sesungguhnya prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada diantara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertaqwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima Taubat, Maha Penyayang.
Setidaknya jika dihubungkan dengan film tersebut, seakan-akan Tuhan sudah mati di dalam pikiran dan hati mereka, hal tersebut sudah menjadi realitas yang tidak bisa dihindarkan lagi di kehidupan kita saat ini, dan manusia saat itu mungkin sudah lupa dengan Tuhan dan lebih mungkin lagi sudah membunuh Tuhan secara tidak langsung. Begitulah realitas yang ditunjukkan film Tilik tersebut dan setidaknya menjadikan film tersebut sebagai pembelajaran kehidupan yang lebih baik lagi.
1 comment