Ramadan Bersama Corona
Tahun lalu, tidak bisa dihindarkan lagi tentang suasana yang sedang lagi menggetarkan Indonesia, dan juga dunia yaitu berkaitan dengan Covid-19, singkat saja Virus Corona. Segala sektor yang ada di dunia seketika lumpuh karenanya, baik dari segi Ekonomi, Pertahanan dan Agama.Dari segi ekonomi, jelas membuat pekerja dan pemberi kerja dibuat pusing karenanya, dan semakin paniknya ada yang langsung me-lockdown tempat perusahaannya tersebut, impact-nya sangat jelas yaitu pemecatan besar-besaran. Tidak heran banyak yang di PHK dari perusahaan karena di ambang dilema besar yaitu mempekerjakan tapi berisiko, atau mem-PHK namun membuat suasana terpuruk.
Kejadian seperti ini sejatinya, menandakan bahwa Indonesia sendiri masih belum siap untuk survive dari virus ini, dan jika ingin saya berbicara jujur, di awal kita memang main-main dan terkesan bercanda soal keadaan ini. Apalagi di bulan Ramadan kali ini, kita berpasangan dengan virus yang katanya sangat mematikan, meskipun angka kasusnya tinggi, sedangkan orang yang meninggal relatif sangat sedikit. Meskipun ancamannya berbentuk yang lebih kecil daripada sebutir pasir, namun membuat warga dunia panik sampai tidak beraturan. Saya jadi teringat dengan Dalai Lama XIV yang pernah mengatakan jika anda berpikir terlalu kecil untuk membuat suatu perbedaan, maka cobalah tidur dengan seekor nyamuk.
Setidaknya Dalai Lama XIV memberikan kesan yang sangat menarik dalam kata-katanya yang menganalogikan perbedaan dan perubahan signifikan, dan itu terjadi sekarang ini, virusnya kecil tapi paniknya hampir setengah mati. Padahal katanya benda tersebut sangat kecil bahkan lebih kecil daripada bakteri, tetapi membuat seluruh dunia panik dengan keberadaannya. Jikalau kita perhatikan secara saksama, kita sebenarnya terbebani psikologis kita bahwa virus ini adalah hal yang mematikan.
Memang benar, virus ini sangat mematikan, namun tingkat persentase nya sangatlah kecil jika dibandingkan dengan kanker, stroke, dan penyakit mematikan lainnya. Namun, mengapa kita terlalu takut dengan yang namanya Covid-19? Padahal, kalau kita mau jujur Bulan Ramadan mengajarkan kita untuk selalu meditasi, bukan hanya sekadar meditasi perut, tetapi pikiran juga membutuhkan meditasi.
Sejatinya, yang berperan penting di dalam kesehatan kita adalah kita sendiri dan psikis kita senantiasa sealur dengan fisik kita. Jika di dalam fisik kita lemah, maka sejatinya psikis kita sedang tidak baik-baik saja. Maka dari itu, berpuasa tidak hanya melatih perut untuk menahan lapar, tetapi melatih kita untuk selalu bersyukur dengan apa yang kita usahakan selama ini. Saya meyakini, Tuhan tidak mungkin memberikan cobaan tanpa ada hikmah yang mendalam saat pandemi ini.
Berbicara tentang cobaan, terkadang kita tidak melihatnya sebagai bagian yang kontemplatif dan tidak pernah menanggapi dengan bijak bagaimana caranya agar bisa survive dari Covid-19, dan terkadang tidak pernah memperhatikan kondisinya sendiri yang serba takut dan cenderung melarikan diri dari kenyataan yang ada. Ramadan bersama Corona ini memang menimbulkan banyak sekali impact yang begitu menonjol bahkan kegiatan keagamaan yan menurut saya pribadi mengalami impact yang sangat nampak, salah satunya masjid yang biasanya ramai saat Tarawih, kemudian nyaris tidak terlihat karena mereka beribadah di rumah.
Lalu pertanyaan kita sekarang adalah, apakah kita akan pasrah dengan keadaan yang seperti ini? Jikalau demikian, artinya Tuhan begitu sia-sia untuk menciptakan manusia, karena manusia diciptakan untuk menciptakan sesuatu entah itu problem solving ataupun educator of peace. Marilah kita menjadikan suasana seperti ini sebagai bahan renungan kita, bahwa ada sesuatu yang lebih berkuasa dibandingkan kita sendiri, yaitu Tuhan.[]
Share this content:
Post Comment