Loading Now

Beragama Itu Mesti Ber-Estetika

25ba9-2650285 Beragama Itu Mesti Ber-Estetika

Beberapa hari ini kita dihebohkan dengan peristiwa yang sebenarnya sudah sejak lama dilakukan tetapi dengan cara yang berbeda yaitu penghancuran rumah ibadah, tapi ini menggunakan bom bunuh diri yang mengklaim sebagai martir. Di Indonesia, kita mungkin pernah mendengar peristiwa kasus Bom Bali pada tahun 2000 an dan boleh dikatakan sebagai tragedi kemanusiaan yang sangat membuat tiap orang menangis, apalagi keluarga dari korban itu sendiri.

Bagi siapapun pastinya menganggap peristiwa bom bunuh diri adalah suatu kebiadaban dan senantiasa mesti diberikan pelajaran. Namun anehnya, targetnya kurang lebih sama seperti yang dilakukan oleh Abrahah ketika ingin menjatuhkan rumah Ibadah di Makkah. Bagi tiap-tiap yang melihat berita dan kejadian tersebut, pastinya akan mengutuk aksi tersebut, lalu apakah dengan mengutuk membuat semuanya menjadi selesai? Tidak!

Kita semua tahu, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian dalam menanggulangi aksi yang tidak manusiawi ini apapun bentuknya, tetapi kita sebagai manusia baik itu sebagai manusia itu sendiri maupun manusia yang beragama senantiasa memberikan internalisasi yang kuat tentang pentingnya beragama yang baik dan benar. Bagi saya sendiri, beragama tidak hanya berbicara tentang etika, tetapi ia juga berbicara tentang estetika (keindahan).

Beragama secara estetika bukanlah hal yang tidak mungkin dilakukan oleh setiap orang, karena tiap agama juga memperhatikan aspek keindahan baik itu dari segi perbuatan maupun kebersamaannya. Di dalam Islam misalnya, kita mengenal istilah setiap “mukmin itu bersaudara”, kalimat tersebut merupakan kalimat yang tidak hanya beretika tetapi ia juga memiliki unsur keindahan, karena ini berkaitan dengan psikologis, dan orang-orang yang mendengarkan kalimat tersebut rasanya akan tersentuh dikarenakan kalimat tersebut dianggap kalimat yang indah untuk diungkapkan. 

Terkadang manusia selalu melupakan aspek kalimat yang ada di Kitab Suci untuk dijadikan alat keindahan agamanya sendiri. Dan sering kali yang terjadi salah paham, prasangka buruk terhadap agama itu sendiri, dan itu juga pernah dirasakan oleh penulis sendiri saat menjadi Agnostik di masa SMA. Saya meyakini, agama yang diturunkan tidak hanya berisikan tentang peraturan yang membuat orang-orang menjadi beretika, tetapi ia juga menjadikan umatnya menjadi seorang yang mengenal keindahan lewat agamanya.

Mari kita perhatikan Jalaluddin Rumi, yang memberikan kontribusi yang begitu nyata dan salah satunya Trilogi karya-karya nya yang mendunia mulai dari Matsnawi, Diwan Syamsi Tabrizi dan Fihi Ma Fihi, mari kita perhatikan kalimat-kalimat yang indah dari seorang Jalaluddin Rumi :

Jangan tanyakan apa agamaku, Aku bukan Yahudi, Bukan Zoroaster, Bukan pula Islam. Karena aku tahu, begitu nama kusebut kau akan memberikan arti yang lain daripada makna yang hidup di hatiku. 

Tidak pernah sejenak pun dia berhenti mendengarkan musik (sama’) dan menari; Tidak pernah dia melepaskan lelah baik siang maupun malam. Setelah menjadi seorang mufti: dia menjadi penyair; Setelah menjadi seorang pertapa: ia menjadi mabuk oleh Cinta. Bukanlah anggur biasa: jiwa yang terang hanya meneguk anggur cahaya.

 Kedatangan dan perkataanku bukanlah indikasi dari rasa cintaku. Aku mengatakan apa saja yang tampak padaku. Jika Allah menghendaki, Dia akan menjadikan ucapan yang sedikit ini menjadi bermanfaat dan menumbuhkannya di hati kalian, berikut dengan manfaatnya yang besar. Sebaliknya, tak akan ada yang terpatri di hati siapa pun, melainkan hanya akan berlalu dan dilupakan.

Ketiga ungkapan tersebut diambil dari beberapa karya Rumi yang menurut saya pribadi adalah salah satu dari ungkapan bahwa agama juga bisa menembus dimensi estetika. Tidak heran Sufi yang begitu intens dalam mengembangkan ajaran-ajaran agama dalam bentuk estetika. Namun, yang menjadi problemnya adalah tidak semua orang menerima konsep estetika dari agama itu sendiri, termasuk kalangan konservatif, contoh dari agama Islam kita mengenal Salafi dan Wahabi. Mereka tidak menerima konsep estetika yang menurut mereka adalah sesuatu yang dibuat-buat bahkan sesat.

Saya orang yang selalu percaya Tuhan telah memberikan pengetahuan kepada hamba-Nya agar mencari tahu tentang eksistensi yang dibawanya yaitu agama, tetapi terkadang manusia yang membuat interpretasi yang berbagai ragam bahkan cenderung saling mencemooh satu sama lain. Marilah kita beragama dengan indah dan Tuhan sendiri Maha Indah bukan?, dan menyukai Keindahan.[]

Referensi :

Annemarie Schimmel. (2016). Akulah Angin, Engkaulah Api : Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi. Bandung : Mizan.

Charles Kimball. (2002). When Religion Becomes Evil. San Fransisco : Herper

Graham E. Fuller. (2010). Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam. Bandung : Mizan

Jalaluddin Rumi. (2018). Semesta Matsnawi (edisi terjemahan). Yogyakarta : Penerbit Forum

——————–. (2016). Kisah Keajaiban Cinta: Renungan Sufistik Mutiara Diwan-i Syams-i Tabriz. Bantul: Kreasi Wacana,  

——————–. (2018). Fihi Ma Fihi: Mengarungi Samudera Kebijaksanaan diterj. Abdul Latif, Yogyakarta: Penerbit Forum. 

Karen Armstrong. (2013). Perang Suci : Kisah Detail Perang Salib, Akar Munculnya dan Dampaknya Terhadap Zaman Sekarang. Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta.

———————. (2001). Sejarah Tuhan: Kisah 4000 tahun Pencarian Tuhan dalam Agama-Agama Manusia. Bandung: Mizan.

Share this content:

Post Comment