Loading Now

Mengapa Orang-Orang Baik Terpecah Karena Politik dan Agama?

%2528salinan%2Byang%2Bberbeda%2529%2BSumber%2BGambar%2Bdari%2Bhidayatullah.com%25283%2529 Mengapa Orang-Orang Baik Terpecah Karena Politik dan Agama?


Pendahuluan

Ada salah satu buku yang bagi saya sangat excited membacanya karena dilihat dari realitas sekarang sangat mendukung untuk membaca buku tersebut, nama buku tersebut bernama The Righteous Mind karya Jonathan Haidt. Jika dilihat secara sepintas, makna righteous memiliki arti berbudi pekerti dan mind bermakna pikiran. Bila kita satukan, The Righteous Mind artinya Pikiran yang Budi Pekerti. Namun, jika kita melihat versi terjemahan Bahasa Indonesia yang di cetak oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) ada kalimat kecil setelah judulnya yaitu “Mengapa Orang-Orang Baik Terpecah Karena Politik dan Agama”.

 

Manusia dan Sejarah Kelam karena Politik dan Agama

 

Kalangan Agamawan

 

Bagi yang pernah membaca buku Graham E. Fuller yang berjudul Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam, setidaknya kita pernah melihat ke belakang mengenai Abad kedua yang bisa dikatakan sebagai The Dark Age, mengapa demikian? Karena pada masa itu, pemikiran telah dibuat buntu oleh penguasa baik itu kalangan sekuler maupun agamawan. Di saat Raja Konstantinopel yakni Raja Konstantin I menetapkan Teologi Kristiani yakni Yesus sebagai Tuhan, pada masa itu mendapat reaksi yang luar biasa, baik dari kaum sepemikiran dengan Raja Konstantin maupun kontra. Imbasnya, yang tidak sepemikirkan dengan Raja akan dijuluki sebagai bid’ah.

 

Bid’ah sendiri bisa diartikan sebagai sekelompok yang tidak sepaham dengan paham kerajaan dan agama resmi, maka dari itu tidak heran di masa itu juga terjadi pembantaian yang katanya atas nama Tuhan. Saya jadi teringat dengan dosen saya yaitu Pak Hariansyah yang bertanya kepada kita semua (mahasiswanya) “Tuhan menurunkan Agama yang penuh cinta kasih dan kasih sayang, lalu mengapa manusia mengubahnya menjadi sesuatu yang amat kejam?”. Bahkan pertanyaan itu tidak bisa saya jawab karena saya sendiri adalah makhluk yang beragama dan masih mencari jawaban tersebut.

 

Tidak hanya peradaban Kristiani, di dalam peradaban Islam pun juga mengalami demikian. Hal itu dialami oleh masa Dinasti Bani Abbasiyah yang saat itu dipimpin oleh Abdullah Al-Ma’mun yang saat itu menetapkan Teologi mengenai Al-Quran adalah makhluk. Hal itu mendapat respon yang sangat keras dari kalangan konservatif Islam sekelas Ahmad bin Hambal yang justru memberikan pandangan teologisnya bahwa Al-Quran adalah Qadim (terdahulu). Aliran Islam yang berkembangan saat itu adalah Mu’tazilah yang bercorak rasionalitas. Meksipun ada yang seorang filsuf Islam yang berani menggabungkan kedua argumen tersebut yaitu Fakhruddin Ar-Razi beliau mengungkapkan Al-Quran bersifat Qadim, tapi sisi yang lain Al-Quran diciptakan oleh Tuhan dan menjadi mushaf yang dibaca oleh Umat Islam, dan argumen tersebut adalah argumen yang saya setujui, dan Mohammed Arkoun juga sepertinya sepemikiran dengan Fakhruddin Ar-Razi.

 

Jika kita lihat peristiwa dari keduanya, tampaknya politik sangat berperan penting di di dalam sebuah kebijakan. Mengapa tidak?, setiap kebijakan yang ada dilihat oleh Raja ataupun pemimpin yang berkuasa. Saya langsung teringat dengan Lord Acton yang mengatakan “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. (Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut merusak secara mutlak)”. Semakin banyak pengaruh suatu pemikiran ataupun tindakan biasanya cenderung korup apalagi kekuasaan yang bersifat absolut itu pasti rusak secara mutlak.

 

Kalangan Sekular

 

Melihat sejarah kembali di masa Abad Pencerahan yang dianggap sebagai masa kemajuan bagi peradaban Barat. Di masa ini, Agama perlahan hampir tidak eksis lagi seperti di masa klasik maupun skolastik (baca : Pertengahan). Sebenarnya, hilangnya peran agama sudah ada di masa Renaisans di Italia, tetapi yang paling berkesan di masa Prancis (lebih tepatnya masa Revolusi Prancis), pada masa itu menghilangkan status Agama sebagai bukan berkenaan dengan urusan negara.

 

Banyak pemikir-pemikir Barat yang pada akhirnya lebih tidak mau tahu dengan urusan keagamaan, dan menganggap agama sebagai pengacau bagi ke-modern-an, yang saat itu merupakan respon dari mereka sendiri yang melihat agama hanya dianggap sebagai hama bagi negara dan mesti dipisah ruang lingkupnya. Setidaknya ada banyak negara yang menerapkan Sekularisme ini salah satunya adalah Prancis. Sebenarnya di Indonesia juga hampir menganut Sekularisme, karena orang-orang di Indonesia lebih memisahkan antara Agama dan Politik secara komprehensif seperti yang diungkapkan oleh Nurcholis Madjid “Islam Yes, Partai Islam No”, meskipun pemikiran tersebut lebih bersifat sekularisasi yang bermakna memisahkan antara hal yang bersifat suci dengan duniawi.

 

Moralitas Manusia

 

 Jonathan Haidt yang menulis buku The Righteous Mind mengajak kita untuk melihat fenomena ini dari sisi moral manusia itu sendiri. Dalam memahami moral manusia senantiasa kita bisa mendapat jawaban tentang Agama dan Politik itu sendiri. Psikologi Moral menurut Haidt merupakan kunci untuk memahami politik, agama kebangkitan spektakuler manusia yang mendominasi bumi ini. Adapun closing statement dari buku tersebut setidaknya mengungkapakan :

 

Buku ini menjelaskan mengapa orang-orang terpecah-pecah oleh politik dan agama. Jawabannya bukan seperti yang dipercayai orang-orang Manikean, karena sebagian orang baik sementara sebagian lagi jahat. Penjelasannya justru adalah akal kita dirancang untuk berbudi dalam kelompok. Kita adalah makhluk-makhluk yang intuitif secara mendalam, dengan firasat yang mendorong penalaran strategis kita. Itu menjadikan kita sulit –namun tidak mustahil—tersambung dengan orang-orang yang hidup dalam matriks lain, yang sering kali dibangun di atas konfigurasi landasan moral yang berbeda.

Jadi lain kali Anda mendapat diri Anda sendiri duduk di samping orang yang berasal dari matriks yang berbeda, cobalah. Jangan langsung menghajar. Jangan menyinggung-nyinggung moralitas sebelum Anda menemukan beberapa poin kesamaan atau entah bagaimana telah membentuk sedikit rasa saling percaya. Dan ketika Anda akhirnya mengungkit permasalahan moralitas, cobalah mengawali dengan pujian, atau ekspresi minat yang tulus.

 

Kesimpulan

 

Jika kita renungkan kata Haidt di atas, senantiasa ini lebih bersifat kontemplatif agar kita yang mengetahui moralitas tentang manusia agar saling memahami satu sama lain, beliau menggunakan kata matriks untuk kata lain pemikiran. Memang benar ego manusia adalah sesuatu yang sangat krusial untuk kita memahami, dan sesuatu tersebut bisa dikatakan hancur karena ego manusia. Terpecahnya orang-orang karena Agama dan Politik sebenarnya tidak sepenuhnya benar, yang ada Orang-Orang Beragama dan Berpolitik terpecah karena egoisme mereka yang sering kali menimbulkan perpecahan antar manusia itu sendiri yang secara khusus mengalami perang baik itu fisik maupun pemikiran.

 

Referensi

Graham E. Fuller. 2016. Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam (edisi terjemahan). Bandung : Penerbit Mizan.

Jonathan Haidt. 2018. The Righteous Mind : Mengapa Orang-Orang Baik Terpecah Karena Politik dan Agama (edisi terjemahan). Jakarta : Penerbit KPG.

Karen Armstrong. 2014. Sejarah Tuhan : Kisah 4000 Tahun Pencarian Tuhan dalam Agama-Agama Manusia (edisi terjemahan). Bandung : Penerbit Mizan.


Share this content:

Post Comment