Diskusi Toleransi : Dari Bubur Hingga Pluralisme
Sumber Gambar : Canva
Pendahuluan
Membicarakan tentang pentingnya Toleransi sangat diperlukan untuk abad ini, dan tidak jarang juga ada diskusi-diskusi intelektual yang membicarakan tentang pentingnya toleransi dan hal ini setidaknya bertujuan agar hidup manusia bisa berdampingan dengan kedamaian. Hal ini, bisa dikatakan sangat fundamental untuk dibahas agar senantiasa manusia secara psikologis dapat mengendalikan nafsu pembenaran dari diri sendiri.
Perlu diketahui secara saksama, setidaknya Toleransi di Indonesia berdasarkan survei yang diadakan oleh Kementerian Agama merilis survei indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB). Merujuk pada angka KUB nasional 73,83, terdapat sejumlah provinsi yang berada di bawah rata-rata nasional. Dari data survei tersebut menunjukkan adanya hasil yang terbilang positif mengenai toleransi di Indonesia, meskipun demikian angka ini memungkinkan terjadinya kenaikan atau penurunan di tahun mendepan.
Akan tetapi, permasalahan yang berkenaan dengan toleransi bukan hanya sekadar Agama saja, tetapi ada yang berkaitan dengan Pemikiran (Pandangan), Mazhab (dalam dunia Islam), dan aktivitas sosial lainnya masih belum dianggap toleransi, padahal perbedaan dalam mengemukakan pendapat adalah suatu aktivitas toleransi, bahkan ini yang paling tidak dianggap. Maksudnya, orang-orang hanya mendefinisikan toleransi hanya sebatas Agama, padahal ada pandangan, mazhab, etika dan lain sebagainya.
Filosofi Bubur
Saya jadi teringat dengan diskusi kemarin yang bertajuk Toleransi, ada sebuah analogi yang cukup menarik di dalam Video Conference Zoom tersebut. Ternyata, jika kita perhatikan lebih mendalam, orang-orang dalam memaknai makan bubur sering kali berbeda, ada yang makan bubur dengan cara diaduk, kemudian ada yang makan bubur tanpa diaduk. Di dalam Video Conference memiliki dua pandangan yang berbeda di dalam menikmati bubur. Adapun argumen yang diutarakan oleh penikmat bubur diaduk, maksudnya agar bumbu dan tiap-tiap komponen di dalamnya menyatu dan terasa nikmat saat di lidah. Kemudian, dari bubur tanpa diaduk mengemukakan argumentasinya yang lebih bersifat estetitka. Memang benar, jika bubur yang kita aduk akan kehilangan nilai estetiknya, meskipun demikian ada juga yang memakan bubur tanpa diaduk.
Dari Video Conference tersebut, setidaknya ada nilai yang terkandung di dalamnya, salah satunya nilai Toleransi dalam cara makan. Etika cara makan antara orang Indonesia dengan orang Jepang misalnya, adapun orang Indonesia ketika menghirup kuah, cenderung menggunakan sendok karena terbiasa dengan etika. Sedangkan orang Jepang, ketika menghirup kuah langsung dengan mangkok nya, adapun makna itu lebih diartikan sebagai kepuasan pelanggan di dalam menilai makanan. Bagaimanapun, dari kultur yang berbeda akan melahirkan perbedaan yang authentic.
Pluralisme Yang Di Depan Mata
Meskipun kata pluralisme menggandung kontroversi di Indonesia, setidaknya kita mesti melihat dari sudut definisi yang otoritatif The Random House Dictionary of English Language bahwa Pluralisme merupakan teori bahwa realitas terdiri dari dua unsur independen atau lebih. Di dalam ungkapan tersebut di menurut Prof. Dr. Faisal Ismail tidak ada ungkapan menyamakan di dalam kamus tersebut, karena pada dasarnya baik ada atau tidak adanya Pluralisme, sebenarnya sudah ada realitas yang berbeda itu. Berbeda dengan Sinkretisme (ungkapan yang sering disamakan dengan Pluralisme) yang menyatukan kepercayaan yang ada, secara tidak langsung makna bermakna aktif, sedangkan Pluralisme bermakna yang sebaliknya yaitu pasif karena tanpa kita sadari sekalipun manusia senantiasa berbeda dan di sekitar kita juga berbeda.
Saya ambil contoh berdasarkan pengalaman pribadi, saya tinggal di suatu komplek yaitu Komplek Mandau Permai yang secara realitasnya ada berbagai agama, beberapa di antaranya Islam, Kristen Katolik dan Protestan. Kita sudah lama bertetangga dan kita sendiri tidak bisa menghilangkan identitas tetangga kita yang beragama Kristen tersebut. Secara realitas, keberadaan tersebut akan selalu ada di sekitar kita. Lanjut dari pengalaman tersebut, saya merasakan keharmonisan meskipun berbeda soal agama dan juga pendapat dan mereka memaklumi adanya perbedaan tersebut.
Kesimpulan
Pada dasarnya, ketika kita berbicara tentang toleransi setidaknya kita bisa memulai hal yang ringan, seperti cara makan, cara berpakaian, cara berpendapat dan lain sebagainya. Karena kita semestinya tidak mempermasalahkan lagi hal-hal yang sudah jelas berbeda, namun hal yang menarik adalah kita seyogyanya mencari persamaan antara kita dan mereka, karena Tuhan sendiri menyuruh kita untuk tetap membaur dan berbuat baik selama mereka berbuat baik kepada kita meskipun dengan keyakinan yang berbeda, apalagi mengenai tetangga yang sama seperti pengalaman saya.[]
Daftar Pustaka
Ismail, Faisal. 2017.”Islam, Doktrin dan Isu-Isu Kontemporer“. Yogyakarta : Diva PressÂ
https://news.detik.com/berita/d-4818287/menag-umumkan-indeks-kerukunan-beragama-2019
Diskusi Toleransi : “Cara Anak Muda Indonesia Memahami & Merayakan Keberagaman” bersama Exceptionale. Via Zoom. 23 Agustus 2020
Â
Share this content:
Post Comment