Loading Now

Patah Hati? Relatif!

 

%2528salinan%2Byang%2Bberbeda%2529%2BSumber%2BGambar%2Bdari%2Bhidayatullah.com%25281%2529 Patah Hati? Relatif!

 

Kira-kira pada hari Selasa 23 November 2020 ada sebuah diskusi yang lumayan menarik untuk saya perhatikan karena pembahasannya bisa dikatakan hal yang mainstream, tetapi bagi saya ini menyangkut eksistensi seseorang. Diskusi tersebut berkaitan dengan cara berdamai dengan patah hati yang dibahas oleh Nur Atika dengan moderator Olif Setiawan dan buku yang dibahas berjudul “Berdamai dengan Patah Hati”.

Diskusi tersebut memang bersifat pskologi jika dibandingkan dengan pengalaman pribadi dari seorang penulis itu sendiri bagaimana ia menjalani hidup bersama seseorang yang ia cintai dan akhirnya hubungan mereka harus kandas karena suatu hal. Bagi saya sendiri, yang namanya patah hati sebenarnya tidak hanya bersifat antara manusia dengan manusia, tetapi juga kepada Tuhan, Alam, Binatang dan makhluk lainnya, namun di dalam buku ini lebih bersifat hubungan antara dua insan yang berbeda.

Dasarnya jika kita berbicara tentang diri sendiri adalah bukan berbicara mengenai fisik saja tetapi psikis juga diperhatikan. Patah hati adalah perasaan yang bersifat eksistensial manusia mengalami jatuh cinta dan akhirnya harus putus tengah jalan karena suatu hal. Tetapi, pengalaman tersebut tergantung dari individu seseorang untuk dapat berdamai dengan caranya sendiri. Di dalam diskusi tersebut memang unik dan khusus untuk pemuda yang sedang jatuh cinta tetapi harus berakhir tanpa suatu penjelasan yang begitu berarti.

Bagi insan yang pernah merasakan indahnya jatuh cinta, setidaknya pernah merasakan betapa pedihnya patah hati. Akan tetapi, mengapa patah hati menjadi sesuatu yang bersifat eksistensial dan terkadang terkesan kutukan? Atau nikmatnya cinta hanya sebatas dua insan yang berbeda bertemu dan saling mengungkapkan rasa sayangnya? Jika cinta yang kita maksudkan adalah merujuk kepada pertanyaan tersebut. Maka kita perlu pertanyakan cinta yang kita alami itu seberapa besar? Jangan-jangan cinta yang kita maksud masih ruang lingkup yang kecil.

Merujuk pada Erich Fromm di dalam bukunya yang berjudul Art Of Loving setidaknya kita memiliki banyak sekali cinta ; ada cinta sesama, cinta ibu, cinta pasangan dan cinta Tuhan. Seharusnya cinta memang mesti kita bagi porsinya, dan semestinya cinta kita kepada Tuhan adalah yang paling banyak, lalu kemudian cinta Ibu, kemudian cinta sesama, terakhir cinta pasangan. Setidaknya, keempat jenis cinta ini harus ada di dalam diri manusia. Jika salah satunya tidak ada, maka keegoisan di dalam diri seseorang akan lebih dimunculkan dan terkesan memaksa.

Memaksakan inilah yang sebenarnya membuat kita kehilangan banyak waktu untuk mencintai banyak orang, termasuk mencintai sesama. Tidak heran, jika kita berkata cintaku hanya untukmu, maka itu bukan cinta melainkan pemaksaan yang secara eksistensial sangat menyakitkan. Jika kata Sartre bebas aja kita terasa sakit, apalagi ketika kita dipaksa, maka akan terasa lebih dari itu. Setidaknya, kita mesti lebih memahami, mengapa cinta idealnya memang mesti dibagi porsinya dengan adil.

Terkadang pembagian ini yang tidak dipahami oleh sebagian banyak orang dan terkesan posesif, dan ini menyebabkan ketidakseimbangan antara individual dengan hubungan sekitarnya. Meskipun saya termasuk orang yang pernah patah hati tetapi bukan kepada manusia melainkan kepada Tuhan secara langsung tentang keadilan Tuhan terhadap orang-orang yang dibully dan saya selalu mempertanyakan tentang keadilan Tuhan hingga kelas 3 SMP dan membuat saya harus dianggap sebagai Ateisme.

Kembali lagi ke Patah Hati seorang manusia tersebut. Memang banyak cara untuk memulihkan diri baik secara fisik maupun psikis setelah mendapat pukulan telak berupa patah hati, setidaknya saya sendiri hanya bisa menyarankan bagi yang masih patah hati untuk pertanyakan eksistensi dirinya sendiri dan renungkan apakah dengan patah hati bisa mengubah keadaan? Saya tidak mampu memberikan solusi karena saya sendiri tidak mampu untuk memaksakan orang untuk mengikuti apa kata saya. Setidaknya diri sendirilah yang mampu untuk menemukan jawaban bagaimana caranya berdamai dengan patah hati dan dengan dirinya sendiri.[]


Share this content:

Post Comment