Project Unity In Diversity : Merdeka Belajar dan Reorientasi Kebudaayan
Pendahuluan
Kurikulum Merdeka Belajar yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayan, Riset dan Teknologi yaitu Nadiem Anwar Makarim memberikan warna tersendiri di dalam Kurikulum yang berlangsung di Indonesia. Dengan memberikan akses yang luas bagi Pendidik dan Peserta Didik untuk melakukan kreativitas, setidaknya Penerapan Kurikulum kali ini terasa berbeda. Ditambah lagi dengan pengaplikasian pembelajaran di luar kelas yang menjadikan Kurikulum Merdeka Belajar sebagai Kurikulum yang berbasis Implementasi.
Merdeka belajar mendukung banyak inovasi dalam dunia pendidikan, terutama kemajuan berbagai lembaga pendidikan, termasuk sekolah dan madrasah, dengan membentuk kemampuan guru. Guru mandiri di kelas mengenali kebutuhan siswa sesuai dengan lingkungan dan budayanya. Mengingat Indonesia memiliki banyak suku, adat dan budaya, adat dan etika tentu berbeda di satu daerah. Justru perbedaan itulah yang membuat kita saling mengenal dan menjadi negara yang sejahtera, menghargai perbedaan yang ada dan gotong royong yang sudah menjadi warisan nenek moyang yang terpuji dari generasi ke generasi. Nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika harus dimiliki bersama oleh seluruh masyarakat Indonesia, termasuk pelajar.1
Epistemologi “Merdeka Belajar”
Kebetulan di Sekolah Dasar Negeri 05 Pontianak Utara sedang ada acara yang sangat unik jika dibandingkan beberapa sekolah yang ada, apalagi SDN 05 Pontianak menjadi salah satu Sekolah Penggerak yang ada di Pontianak. Di dalam akhir pembelajaran yang saya amati, peserta didik the end of point, mereka melakukan ajang kreativitas yang menjadikan sekolah tersebut berasa hidup layaknya Pendidikan.
Saya jadi teringat dengan teori Pierre Felix Bourdieu tentang 3 poin yaitu Habitus2, Arena3 dan Capital4. Di dalam implementasi Kurikulum Merdeka Belajar yang saya rasakan, begitu juga dengan guru-guru yang mengajar di kelas 1 dan kelas 4 bahwa kebiasaan (Habitus) belajar yang diterapkan berubah drastis mulai yang awalnya Pembelajaran bersumber Guru (Teacher Centre) berubah menjadi Pembelajaran besumber Peserta Didik (Student Centre). Kemudian, yang awal pertandingan (Arena) di dalam Sekolah yaitu pertandingan ranking (Ranking Match) berubah menjadi pertandingan Kreativitas (Creativity Match). Selanjutnya yang terakhir, perubahan yang begitu signifikan adalah eksplorasi keilmuan (Capital). Jika dahulu pengetahuan sepenuhnya ada di tangan Pendidik, tetapi sekarang peserta didik bisa mendapatkan pengetahuan tersebut lewat mana saja.
Untuk yang poin terakhir, jadi teringat dengan teori Posmodernism terkait pengetahuan yang secara radikal merubah konsep pengetahuan yang awalnya dianggap Objektif berubah menjadi Subjektif, karena pengetahuan tersebut merupakan interpretasi dari manusia itu sendiri5, sehingga kebenarannya relatif. Teringat dengan kata salah seorang filsuf yaitu Friedrich Nietzsche pernah mengatakan “Nein, gerade Tatsachen gibt es nicht, nur Interpretationen.
(Tidak, hanya fakta yang tidak ada, hanya interpretasi.)” karena pada akhirnya yang akan memaknai pengetahuan tersebut justru Peserta Didik, dan mereka bisa memandang tersebut sebagai realitas yang relatif atau mutlak.
Project Based Learning : Wujud dari Kebhinekaan
Di dalam acara Pagelaran Karya di Sekolah Dasar Negeri 05 Pontianak Utara memiliki keunikan yang sepertinya tidak didapatkan oleh Sekolah-Sekolah lain yang Non-Sekolah Penggerak. Biasanya, sekolah-sekolah yang akan menghakhiri masa semesternya, biasanya diadakan Classmeeting dengan masing-masing perlombaan yang biasanya dilakukan. Kali ini, situasinya berbeda yang awalnya Ajang Kejuaraan berubah menjadi Ajang Kreativitas.
![dscn1468-1 Project Unity In Diversity : Merdeka Belajar dan Reorientasi Kebudaayan](https://bowphilosophy.site/wp-content/uploads/2022/06/dscn1468-1.jpg?w=1024)
Gambar 1 : Project Agama lewat Seni yang berbagai macam jenis mulai dari Seni Menggambar, Pahat hingga Kerajinan yang lainnya. Ini bisa disebut dengan Multi-Faith Board. (Dokumentasi : Amar Ma’ruf)
Adapun tema yang diusung bisa dikatakan sebagai mewakili hadirnya Bhineka Tunggal Ika yaitu Pagelaran Karya berdasarkan Budaya Lokal. Ketika saya memperhatikan hal tersebut dengan mata dan kepala saya sendiri, ini kurang lebih seperti Reorientasi Kebudayaan (Reorientation Culture) maksudnya kita dihadapkan dengan realitas yang membuat kita mengenal kembali kebudayaan yang ada, agar tidak terjadi Krisis Identitas Kebudayaan.6
![whatsapp-image-2022-06-20-at-12.06.48 Project Unity In Diversity : Merdeka Belajar dan Reorientasi Kebudaayan](https://bowphilosophy.site/wp-content/uploads/2022/06/whatsapp-image-2022-06-20-at-12.06.48.jpeg?w=1024)
Gambar 2 : Penampilan Fashion Show dari Kelas 4B yang diwakili oleh Bintang Fahri Pratama dan Zaskia Marfirah sebagai Bujang Dare Pontianak. Hal ini dianggap sebagai Reorientasi Kebudayaan di tengah kemajuan zaman. (Dokumentasi dari Ibu Samsiah)
Adapun Tema yang diusung adalah per-semester pada Pagelaran Project tersebut yaitu Tema Kewirausahaan dan Pemanfaat Barang Bekas untuk Kelas 1 sedangkan Kelas 4 adalah Kearifan Lokal Makanan Khas Tradisional. Kemudian di Semester 2 tema yang diusung oleh Kelas 1 Tema Kebhinekaan Tunggal Ika dengan membuat Rumah Miniatur dari Stik Ice Cream dan Kelas 4 adalah Tema Budaya Lokal dengan membuat Miniatur dan Model Pakaian Adat.
![whatsapp-image-2022-06-20-at-21.29.32 Project Unity In Diversity : Merdeka Belajar dan Reorientasi Kebudaayan](https://bowphilosophy.site/wp-content/uploads/2022/06/whatsapp-image-2022-06-20-at-21.29.32.jpeg?w=1024)
Gambar 3 : Pagelaran Karya Miniatur Model Pakaian Adat yang memperkenalkan kepada Peserta Didik tentang Kebhinekaan. Meskipun ada banyak yang berbeda-beda, tetapi tetap satu yaitu Indonesia. (Dokumentasi : Amar Ma’ruf)
![whatsapp-image-2022-06-20-at-21.29.33 Project Unity In Diversity : Merdeka Belajar dan Reorientasi Kebudaayan](https://bowphilosophy.site/wp-content/uploads/2022/06/whatsapp-image-2022-06-20-at-21.29.33.jpeg?w=1024)
Gambar 4 : Pemanfaatan Stick Ice Cream menjadi upaya untuk melakukan kreativitas dalam membuat sesuatu yang bernilai Seni. (Dokumentasi : Amar Ma’ruf)
Kesimpulan
Implementasi dari Kurikulum Merdeka Belajar memberikan respon yang sangat positif bagi masyarakat maupun peserta didik. Di dalam Kurikulum tersebut, tidak hanya berbicara tentang Kemerdekaan Belajar tetapi juga mengajarkan tentang pentingnya Kebudayaan masing-masing yang ada di dalam realitas peserta didik. Tidak hanya mengenalkan budaya kepada peserta didik, tetapi juga menjadi bagian dari Reorientasi Kebudayaan bagi masyarakat untuk menjaga nilai-nilai budaya agar tidak terjadi Krisis Identitas Kebudayaan.
Penulis : Amar Ma’ruf & Ahmad Averroes
Referensi
[1] https://ditsmp.kemdikbud.go.id/menerima-perbedaan-dan-menghargai-keragaman-melalui-toleransi/
[2] Bourdieu, Pierre. “Structures, habitus, practices.” Rethinking the Subject. Routledge, 2018. 31-45.
[3] —————. Arena Produksi Kultural. Jogjakarta: Pustaka Pelajar .2010
[4] —————. “The forms of capital.(1986).” Cultural theory: An anthology 1 (2011): 81-93.
[5] Setiawan, Johan, and Ajat Sudrajat. Pemikiran postmodernisme dan pandangannya terhadap ilmu pengetahuan. Gadjah Mada University, 2018.
[6] Sukarwo, Wirawan. “Krisis Identitas Budaya: Studi Poskolonial pada Produk Desain Kontemporer.” Jurnal Desain 4.03 (2017): 311-324.
Share this content:
Post Comment