Mengapa OSPEK Sarat Akan Kekerasan?
Pendahuluan
Tidak bisa dihindari lagi, bahwa OSPEK merupakan tradisi yang sudah ada di Indonesia, dan bagi sebagian orang Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus adalah suatu keharusan dan mesti hadir di dalam kampus. Maka dari itu, pelaksanaan OSPEK tidak hanya dilakukan oleh kampus-kampus umum, namun dilakukan pula oleh kampus-kampus yang keagamaan. Akan tetapi di dalam pelaksanaanya, bisa dikatakan berbeda-beda, ada yang dirayakan dengan penuh suka cita dengan benar-benar memperkenalkan kampus itu sendiri, ada juga yang menggunakan plonco yang dibenarkan secara subjektif.
Sejarah dan Kronologi OSPEK
Berdasarkan data yang saya dapat dari sebuah situs yang bernama Pintek bahwasanya OSPEK diberlakukan sejak tahun 1898-1927 di Institusi Pendidikan yang dikenal dengan STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen). Sekolah tersebut masih merupakan pendidikan dokter pribumi di Batavia (sekarang : Jakarta) yang kemudian menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tidak mengherankan jika kita melihat adanya perploncoan di film Habibie dan Ainun 3 yang lokasinya di Fakultas Kedokteran UI.
Pada masa itu, kekerasan alias plonco sudah diterapkan. Bahkan status Junior dan Senior seakan-akan menjadi kasta tersendiri. Kasta Senior menjadi yang teratas dan diibaratkan Raja atau Tuhan yang bebas untuk menyiksa Junior. Sedangkan Junior adalah kasta terendah dan dianggap sebagai hamba atau babu (baca : pembantu). Biasanya junior akan melakukan apa yang disuruh oleh Senior, baik itu bersifat logis ataupun tidak logis.
Kemudian, sistem ini terus berlanjut hingga tahun 1927-1942 di Institusi pendidikan GHS (Geneeskundige Hoogeschool te Batavia) yang masih merupakan kolonial Belanda bahkan hingga mendekati akhir dari kolonialisasinya. Menariknya OSPEK ini lebih bersifat manusiawi dan lebih formal, bahkan mahasiswa baru boleh mengikuti atau tidak (alias sukarela). Jadi, tidak ada paksaan bagi mahasiswa atau peserta didik untuk mengikuti kegiatan tersebut.
Dan seiring perjalanannya waktu, OSPEK hingga saat ini diberlakukan dan diwajibkan bagi Mahasiswa yang baru saja diterima di Universitas yang mereka inginkan khususnya dilingkungan Pendidikan Tinggi. Adapun beberapa kampus lain memodifikasi pelaksanaan Orientasi tersebut dengan cara yang berbeda-beda, ada yang benar-benar memperkenalkan layaknya study tour seperti yang dialami oleh Universitas di Amerika dan Eropa. Lalu di Indonesia sendiri, OSPEK dikemas dengan menggunakan kostum yang menurut mereka menjadi identitas sebuah fakultas ataupun program studinya sendiri.
Komunis-Liberalis di dalam OSPEK yang Mendarah Daging
Jika kita mendengar kalimat “sama rasa dan sama rata”, kalimat tersebut mengingatkan saya tentang Komunisme yang lebih mementingkan kebersamaan jika dibandingkan dengan keunikan manusia itu sendiri. Sebenarnya, sebelum lahirnya Komunis nya Marx yang di ia tulis di Communist Manifesto, sebenarnya Plato sudah membuat konsepnya lebih awal dalam konsep utopianya di buku Republik. Hanya saja di dalam versi Plato secara gamblang melarang adanya Kepemilikian, Keluarga dan Lembaga Perkawinan. Komunis versi Marx dan Engel lebih mengizinkan Keluarga dan Lembaga Perkawinan jika dilihat dari pemikirannya lebih buku Communist Manifesto, tetapi Kepemilikian Pribadi adalah sesuatu yang tabu bagi negara Komunis yang ideal.
Sebenarnya ide awal Komunisme adalah sesuatu yang bersifat preventif (mencegah) kita dari bersifat keserakahan. Namun, belakangan semua itu hanya bersifat tulisan di atas kertas saja. Sering kali Komunisme dikaitkan dengan kekerasan, mari kita lihat kilas sejarah Uni Soviet yang dibawah kepemimpinan Joseph Stalin. Uni Soviet yang dipimpin oleh Stalin sering kali mendapat kritik oleh Leon Trotsky yang menganggap Stalin tidak sepenuhnya menerapkan Komunisme dan lebih bersifat Tiranisme, meskipun Trotsky pada akhirnya dianggap kriminal dan melarikan diri ke Mexico.
Jika kita melihat flashback sejarah, tampaknya kejadian tersebut sangat keterkaitan dengan OSPEK yang ada di Indonesia meski ada embel-embel sama rasa, sama rata, tetapi yang dimaksudkan adalah sama rasa, sama penderitaan. Kita disibukkan oleh ocehan Senior yang selalu mengatakan bahwa penderitaannya lebih parah daripada juniornya. Pertanyaanya, jika penderitaannya begitu keras karena hadirnya plonco, kenapa harus diturunkan kepada Junior? Apakah semua Junior bersiap untuk menerima keluhan kekanak-kanakan dari sebagian Senior tersebut? Saya rasa tidak semuanya merasakan, lalu pertanyaannya apakah rantai Neraka ini akan selesai? Saya jawab tidak tahu dan lebih pesimis jika OSPEK dengan cara kekerasan itu dapat selesai.
Adapun hal yang paling Brengsek dan Bangsat dari OSPEK ini adalah tingkah Senior yang seakan-akan dia adalah Allah/Tuhan yang mesti dipatuhi selama 7 Hari (tergantung pelaksanaan OSPEK itu sendiri). Bahkan jika ada Senior yang memerintahkan untuk tidak shalat maka Junior tersebut wajib untuk ditaati, dengan alasan perintah senior adalah multak. Sejatinya, ini adalah Liberalisme yang secara tidak sadar dilakukan oleh Senior bahkan hal ini tidak disadari pula oleh Junior.
Melihat realitas tersebut, sebenarnya Indonesia tidak sepenuhnya Anti Komunisme dan Liberalisme, bahkan realitas ini bisa dilihat dari kampus-kampus yang aktif mengadakan OSPEK yang bernada plonco tersebut. Liberalisme ini bukan bersifat membebaskan diri dari kebodohan melainkan bertransformasi menjadi sesuatu yang bersifat semaunya. Senior dengan kekuasaannya, melakukan sesuatu yang bersifat semaunya dan keinginan sendiri untuk memperbudak Junior nya.
Renungan dari Lord Acton
Lord Acton atau yang memiliki nama resmi di Inggris yaitu John Emerich Edward Dalberg-Acton 1st Baron Acton 13 Marquess of Groppoli pernah mengungkapkan kalimat seperti berikut ini : “Kekuatan/Kekuasaan cenderung korup/rusak dan kekuatan absolut merusak sepenuhnya.” Apa yang bisa kita ambil dari ungkapan ini, setidaknya kekuasaan cenderung berpotensi untuk merusak, hal ini tergantung dari moralitas dari individu manusia itu sendiri.
Ketika baik itu pemimpin maupun seseorang yang dianggap tua atau senior sering kali berpotensi untuk merusak, baik itu merupakan kemanusiaan maupun pemikiran manusia itu sendiri. Misalnya merusak pemikiran dengan mengikuti secara mutlak pemikiran yang tidak boleh dibantah dan manusia tersebut diwajibkan untuk mengikuti suatu hal yang mungkin di antara manusia itu sendiri ada yang tidak mau.
Jika kekuatan/kekuasaan diberikan kepada orang yang kredibel, berkualitas dan mampu untuk memberikan pengaruh yang baik bagi orang lain, maka ungkapan Lord Acton semestinya tidak berlaku, meskipun ia juga memiliki potensi. Tetapi jika diberikan kepada orang yang haus kekuasaan, anti kemanusiaan, pro penindasan, maka tidak heran akan terjadi akhir yang tragis seperti sejarah-sejarah yang sudah ada.
Kemudian, renungan dari kalimat berikutnya adalah kekuatan absolut merusak sepenuhnya. Maksudnya adalah jika kekuasaan itu sudah menjadi hal yang absolut bahkan cenderung Tirani, maka itu sudah merusak semua yang ada. Bahkan hal ini pernah dialami oleh abad 21 ini. Secara eksistensi manusia memang bersiat kontingen (baca : bisa berubah sepanjang hidupnya), tetapi ketika kekuatan manusia yang ia dapat untuk menghancurkan kemanusiaan itu sendiri, maka tidak heran, kekuasaan tersebut tidak akan bertahan lama.
Kesimpulan
Saya selalu percaya, bahwa OSPEK yang dilakukan dengan cara yang korup dan cenderung plonco akan perlahan berubah menjadi lebih humanis dan orientasi leadership, meskipun membutuhkan waktu yang sangat lama, karena budaya neraka tersebut masih menjadi suatu tradisi yang mesti mereka pertahankan hinggat saat ini. Bahkan di masa pandemi ini, meskipun OSPEK sudah digelar dengan cara Zoom Meetingatau Pembelajaran Jarak Jauh, ada juga yang melakukan tindakan tersebut atas dasar kedisiplinan.
Lagi-lagi, OSPEK ini sempat trending dengan memperlihatkan OSPEK di salah satu Universitas yang ada di Indonesia yang sedang membentak salah satu Junior dengan alibi kedisiplinan, padahal yang ia lakukan adalah plonco. Tampaknya di Indonesia masih sangat minim dalam memperhatikan masalah psikis seseorang, dan secara Liberal membentak orang tanpa memperhatikan hati seseorang. Bukankah, masing-masing orang memiliki penangkapan stimulus yang berbeda? Bukankah kampus itu hadir untuk mencetak Intelektual muda di Indonesia?[]
Referensi :
Bertrand Russell. 2004. Sejarah Filsafat Barat : Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang (edisi terjemahan). Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar
Plato. 2018. Republik (edisi terjemahan). Yogyakarta : Penerbit Narasi
Pintek. (2020, Juni 23). Asal Usul OSPEK Mahasiswa dan Perkembangannya Dewasa Ini.
Share this content:
Post Comment