Loading Now

Aksi Nyata yang Simulakra

Wallpaper-Wordpress-15-1024x576 Aksi Nyata yang Simulakra
Gambar ini mengambil Inspirasi dari The Matrix yang menggambarkan tentang Simulakra (realitas yang tidak utuh).

Pendahuluan

Baru-baru ini, Platform Merdeka Mengajar merilis fitur baru yang ditujukan kepada Pendidik di Indonesia yaitu e-kinerja. Di saat yang sama, fitur ini tidak hanya dinikmati oleh pegawai Aparatur Sipil Negara tetapi bagi Pegawai Honorer bisa menikmati. Menurut Kemendikbudristek, Pengelolaan Kinerja di PMM adalah alat yang membantu Guru dan Kepala Sekolah dalam menetapkan sasaran kinerja. Sehingga, dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang berfokus pada peserta didik. Fitur Pengelolaan Kinerja ini sudah terhubung dengan layanan e-kinerja yang dikelola oleh Badan Kepegawaian Negara.

Kira-kira awal Januari lalu, fitur tersebut dirilis oleh Kemendikbudristek yang menurut saya ini adalah sesuatu yang menarik. Karena untuk kita yang masih belum menjadi ASN bisa diberi kesempatan untuk merencanakanakan kinerja yang ingin kita lakukan. Seperti layaknya ASN, kita juga memberikan target di dalam kinerja kita sendiri, agar dapat memenuhi ekspektasi kerja yang ada. Meskipun demikian, saya memprediksi akan hadirnya sebuah kenyataan yang di alami oleh para guru yaitu Simulakra. Lalu apa kaitannya Simulakra dan Platform Merdeka Mengajar? Mungkin kita akan berkenalan singkat dengan yang namanya Simulakra.

Simulakra Aksi Nyata yang Simulakra
Simulakra dalam bentuk gambar 2 Dimensi yang kerap disebut Waifu/Husbu. Gambar ini diambil dari website medium.com

Perkenalan Singkat tentang Simulakra

Sîmulâcrum atau simulakra adalah istilah yang berasal dari bahasa Latin, yang kemudian diadopsi dalam bahasa Inggris sebagai “simulacrum.” Istilah ini memiliki beberapa makna dan digunakan dalam berbagai konteks, terutama dalam bidang filsafat, sastra, dan seni. Dalam pemikiran Jean Baudrillard dalam filsafat postmodern, istilah “simulacrum” digunakan untuk menggambarkan representasi atau tiruan yang tidak lagi memiliki hubungan dengan sesuatu yang asli atau nyata. Baudrillard berpendapat bahwa dalam dunia kontemporer, kita semakin banyak dikelilingi oleh simulacra, di mana realitas semakin tergantikan oleh representasi yang semakin terdistorsi.

Simulakra mengacu pada representasi atau tiruan dari sesuatu, yang sering kali tidak mencerminkan kenyataan asli dengan akurat. Dalam istilah yang lebih mudah dipahami, kita bisa membayangkan simulakra sebagai “salinan palsu” atau “gambaran tiruan” dari suatu objek, ide, atau konsep. Sebagai contoh, ketika kita melihat gambar atau video dari suatu tempat wisata di internet, itu bisa dianggap sebagai simulakra karena meskipun kita melihatnya, kita tidak benar-benar mengalami keberadaan fisik di tempat tersebut. Gambar atau video tersebut hanya merupakan representasi yang terbatas dan tidak memberikan pengalaman sebenarnya seperti yang kita dapatkan jika kita benar-benar berada di sana.

Wallpaper-Wordpress-17-1024x576 Aksi Nyata yang Simulakra
Gambar ini merupakan Metafora dari Simulakra

Simulakra Babak Baru

Aktivitas yang kita lakukan saat ini, sering kali berhubungan dengan Internet dan kegiatannya bersifat daring. Di saat yang sama, fitur baru yang dirilis oleh Platform Merdeka Mengajar memberikan fitur yang bisa mempertanggungjawabkan kinerja guru. Tapi di saat yang bersamaan, fitur ini justru memberikan peluang gelap dalam penerapan fitur ini. Contoh yang paling mudahnya adalah di dalam fitur tersebut ada kegiatan yang bersifat meningkatkan kompetensi lewat Seminar/Webinar. Kegiatan ini memiliki dua sisi mata uang, sisi pertama kegiatan ini sangat membantu untuk peningkatan kompetensi, tetapi saat yang sama melahirkan simulakra yang baru. Ada sebuah tayangan di Instagram yang menunjukkan adanya kesenjangan yang berarti antara tugas utama sebagai guru yang terlalu sedikit jika dibandingkan dengan Administrasinya.

Bahkan, saya sempat menonton tayangan di beberapa sosial media yang memperlihatkan kesenjangan tersebut. Contoh, paginya mengajar di sekolah selanjutnya di siang harinya mengurus administrasi seperti PMM dan Administrasi Pendidikan. Selanjutnya, di malam harinya mereka mengejar Sertifikat, dan lebih banyak yang bersifat webinar, terkadang mereka hanya tinggalkan laptop saja, dan orang tersebut beraktivitas yang lain. Mungkin, hal ini sama seperti yang dialami oleh anak-anak di masa Pandemi Covid-19 yang mengharuskan mereka belajar secara daring. Tapi, mereka saat ini hanya perlu datang ke webinar dan tinggal di off camera dan nama kita masih ada di Webinar tersebut.

Wallpaper-Wordpress-16-1024x576 Aksi Nyata yang Simulakra
Dua Paradigma di dalam kehidupan manusia yang sering terjadi yaitu Pragmatisme dan Machiavellianisme

Potensi Kemungkinan Pragmatisme dan Machiavellianisme

Setelah saya melihat dari fenomena tersebut lewat beberapa media sosial, ini akan hanya menghasilkan paradigma Pragmatisme di dalam dunia Pendidikan di Indonesia. Pertama, guru-guru kita akan lebih pragmatis, karena mereka pasti akan lebih mementingkan PMM daripada tugas esensinya sebagai guru. Di beberapa sosial media, banyak yang memberikan kritik dalam bentuk Meme bahwa mereka dipandang sebagai apa? sebagai guru atau sebagai petugas admin?. Kira-kira, seperti itu yang menjadi masalah pendidikan saat ini dan hadirnya e-kinerja juga memiliki konsekuensi tersendiri yang lebih bersifat etis.

Contoh sederhana dalam menyelesaikan beberapa tugas di e-kinerja mengharuskan mereka untuk mengumpulkan berupa laporan yang mungkin saja bisa dipertanggungjawabkan. Tapi, dengan mereka lebih berfokus pada administrasi, mereka akan kelupaan terkait rencana mengajar yang sudah didesain sebelumnya. Akhirnya, mereka akan memilih salah satu di antara dua kewajiban yang mesti mereka pilih. Akhirnya, mereka akan lebih pragmatis karena khawatir akan kinerja buruk di mata atasan dengan lebih mementingkan kepentingan yang temporal saja.

Kemungkinan terparahnya, akan ada banyak orang yang menggunakan segala cara untuk bisa memenuhi ekspektasi atasan, termasuk dengan kelihatan tampil di dalam acara webinar tetapi dia sedang melaksanakan tugas yang lain. Hal ini justru membuat orang-orang menjadi tidak jujur dalam mengerjakannya, dan berorientasi untuk menyelesaikan dengan cara apapun (a.k.a Halal, Haram, Hantam).

Kesimpulan

Platform Merdeka Mengajar memang memberikan kemudahan bagi guru, tetapi di saat yang sama membuat para guru misoriented dengan tugas utamanya. Bahkan secara fitrahnya bertentangan dengan UU No. 14 Tahun 2005 Pasal 1 Ayat 1 tentang Guru dan Dosen yang menyebutkan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama yaitu mendidik, mengajar dan membimbing. Hal inilah yang mesti disadari oleh pembuat kebijakan, karena mereka yang membuat, sedangkan yang melaksanakan adalah para guru itu sendiri.

Pandangan mainstream banyak orang tentang Guru di Indonesia masih menjadi sesuatu yang memprihatinkan, bahkan mereka hanya dianggap makhluk administrator saja. Hal inilah yang mesti dirubah paradigmanya, bahwa guru menjadi pendidik adalah yang paling utama, sedangkan administrasi adalah hal yang tidak utama. Semoga Platform Merdeka Mengajar bisa meringkas pekerjaan guru dengan lebih mudah dan para guru bisa berfokus untuk mendidik peserta didiknya.

Baca  Sebelumnya :

Mari Kita Bicara Takdir : Perspektif Anak Sekolah Dasar
Kurikulum Merdeka, Benarkah Merdeka?
Pendidikan dan AI : Sebuah Kebermanfaatan atau Kehancuran?

Share this content:

Post Comment