Kematian : Refleksi Filosofi dan Kontemplasi Kehidupan
Pendahuluan
Bagi kita sebagai makhluk hidup secara umumnya akan mengalami yang namanya kematian, akan tetapi ada sebagian kecil orang yang tampaknya tidak ingin adanya kematian dan lebih menginginkan hidup yang abadi. Kalaupun Tuhan memberikan kehidupan yang abadi kepada makhluk-Nya, maka apa yang kita sebut sebagai Dzat Ilahiyahnya juga akan menyatu bersama Tuhan. Meskipun demikian, hal tersebut tidak mungkin terjadi pada masa sekarang ini. Jikalau ingin dipaksakan adanya kehidupan yang abadi, paling tidak yang lebih relevan adalah kehidupan setelah kematian itu sendiri.
Tulisan ini sebenarnya refleksi kehidupan bagi saya, mengingat 19 hari yang lalu saya ditinggal wafat ibunda tercinta yang sekarang sudah menyusul ke alam keabadian bersama dengan ayahanda saya. Meskipun ada rasa tidak percaya bahwa Ibunda telah tiada, tetapi saya sempat teringat apa yang pernah dikatakan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq saat meninggalnya Rasulullah Saw, beliau mengatakan “Barang siapa yang menyembah Muhammad, maka dia sudah tiada. Dan barang siapa yang menyembah Allah, maka Dia adalah Maha Hidup.”
Memang benar adanya perkataan Abu Bakar tersebut dan saya langsung teringat dengan kalimat tersebut ketika saya merasakan sedih yang berkepanjangan selama dua hari berturut-turut. Walaupun pada dasarnya, sedih adalah sesuatu yang sangat diwajarkan, akan tetapi memang tidak perlu berkepanjangan layaknya Nabi Ya’qub menangis hingga buta karena mendapat rumor palsu bahwa Nabi Yusuf diterkam serigala.
Secara filosofi, kematian adalah sesuatu yang sangat bijaksana untuk sebagai renungan dan juga sebagai pengingat bahwa Tuhan dapat mampu mematikan, karena Dia adalah Dzat yang Maha Mematikan. Uniknya lagi, para filsuf terkadang memandang kematian itu sebagai upaya untuk melumpuhkan keangkuhan dan setidaknya menyadarkan kita bahwa kita tidak berdaya ketika menghadapi kematian.
Di dalam Argumen (Dalil) Agama, secara khusunya Islam sendiri, perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian, dan yang paling utama adalah keyakinan yang penuh akan Tuhan dan Muhammad sebagai Nabi-Nya dan Ibadah yang pastinya tidak putus-putus. Paling tidak, ketika kita sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian itu sendiri maka tidak perlu takut untuk menghadapi kematian tersebut.
Nabi Muhammad dan Kekhawatirannya
Jika kita pernah mendengar atau membaca saat Nabi Muhammad di saat ajal mendekat yang saat itu, Beliau tidak pernah mengkhawatirkan apa yang akan terjadi terhadap rumah tangganya setelah beliau wafat, tetapi yang ia khawatirkan adalah umatnya. Terlihat jelas ketika beliau menghadapi Sakratul Maut beliau mengucapkan Ummati sebanyak tiga kali. Apa maksud dari beliau saat itu? Apakah beliau diberikan pengetahuan masa depan oleh Allah untuk melihat kondisi umatnya setelah sepeninggalan beliau? Saya lebih menangkapnya begitu, karena Nabi Muhammad sendiri adalah person yang benar-benar dijaga dan disayang oleh Allah selama hidupnya.
Menyadari hal tersebut saya, langsung teringat dengan hadits berikut :
Akan datang kepada kalian masa kenabian, dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian, Allah akan menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa kekhilafahan ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah; dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang kepada kalian, masa raja menggigit (raja yang dzalim), dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa raja diktator (pemaksa); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan menghapusnya jika berkehendak menghapusnya. Kemudian, datanglah masa Khilafah ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian). Setelah itu, Beliau diam,” (HR. Imam Ahmad).
Mungkin inilah yang menjadi kekhawatiran beliau akan zaman yang sebenarnya bukan kehendak beliau, tetapi menjadi Grand Design-nya Allah Ta’ala. Kematian yang seperti ini bisa saya katakan sebagai kematian yang lebih memikirkan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Bagi saya inilah yang disebut dengan Altruisme, paling tidak Nabi Muhammad menunjukkan sikap yang altruist.
Kontemplasi Kehidupan di dalam Kematian menurut Jalaluddin Rumi dan Ibnu Arabi
Paling tidak, kematian menjadikan kita lebih berhati-hati dalam berbuat, dan senantiasa menjadikan kita untuk semakin lebih bijaksana dalam hidup ini. Bagaimana tidak, ketika kita tidak bisa memanfaatkan kehidupan yang fanaini, paling tidak kita sudah terlempar di dalam kehidupan yang hedonis. Maka dari itu, kematian sebagai keadaan yang memutuskan ikatan lezatnya dunia dan menunjukkan keadaan yang sebenarnya kepada kita.
Mari kita belajar dari Jalaluddin Rumi dan Ibnu Arabi yang memberikan arahan mengenai kematian yang begitu mendalam. Rumi pernah mengatakan bahwa kematian itu menghubungkan antara yang mencinta dan yang dicintai. Apa maksud beliau? Saya mencoba untuk meraba-raba bahwa yang dimaksudkan adalah Allah, Tuhan kita sendiri (yang dimaksud dicinta). Allah Maha Cinta adalah bagian dari sifat-Nya yang patut kita percayai. Ambil contoh, ketika dalam pernikahan kita mesti mempersiapkan segala sesuatu yang terbaik untuk bertemu dengan seseorang yang kita nikahkan. Walaupun pada akhirnya, si peremuan tersebut pada akhirnya akan menjadi isteri dari seorang laki-laki tersebut, dan pastinya ayah dan ibu dari perempuan pasti akan sedih merelakan anak perempuannya dinikahkan oleh laki-laki yang menikahkannya. Ada lagi ungkapan Rumi yang begitu saya ingat bahwa seseorang yang meninggal pada dasarnya akan berevolusi menjadi sesuatu yang lain, misalnya, Ayah dan Ibu saya sekarang sudah meninggal, tetapi beliau hidup di dalam ingatan saya.
Lebih lagi Ibnu Arabi, ia menganggap bahwa dunia ini hanyalah mimpi belaka, dan hal ini mengingatkan kita kepada ayat suci Al-Qur’an bahwa hidup di dunia ini hanyalah perhiasan dan senda gurau belaka. Apa yang bisa kita ambil dari ungkapan tersebut? Ibnu Arabi sebenarnya untuk mengajarkan kita bahwa dunia ini tidak perlu dicari secara ambisius dan pada akhirnya segalanya akan musnah, dan musnah yang dimaksud adalah kematian itu sendiri. Dunia yang lebih riil adalah setelah kematian, dan ini juga mengingatkan saya pada Mulla Sadra bahwa hidup di dunia ibarat kita sedang tertidur dan ketika kematian kita sudah terbangun dari tidur panjang.
Kesimpulan
Kematian adalah suatu yang pada dasarnya menyadarkan kita bahwa kita ini tidak berdaya dihadapan kematian itu sendiri dan sekaligus melumpuhkan keangkuhan yang ada di dalam diri kita sendiri. Bagi yang menganggap kematian sebagai hal yang bijak, paling tidak ia memberikan hidupnya yang terbaik untuk melakukan hal-hal kebajikan seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad yang dikenang sebagai seorang yang altruist.
Untuk Ayah dan Ibunda tercinta, engkau sekarang berada di dalam dimensi yang berbeda. Kalian sudah tidak merasakan apa yang disebut dengan kesakitan di dunia, karena kalian sudah mengalaminya. Aku akan selalu mendoakanmu baik di masa sulit maupun ceria, karena kalian adalah dua matahari yang selalu menerangi hati dan pikiranku.[]
Share this content:
Post Comment