Eksistensi Kebudayaan : Filosofi Tenun Corak Insang
Kain Tenun Corak Insang mulai diciptakan dan dikenal pada tahun 1930-an.–corak insang dikenalkan di luar negeri pada saat lawatan YM. Sultan Sy Muhammad Al Qadrie (Sultan ke-VI) di negeri Belanda guna menghadiri undangan Ratu Wilhelmina (Ratu Belanda). Ketika itu istri beliau yang bernama Syarifah Maryam Assegaf menggunakan Kain Tenun Corak Insang pada acara kerajaan tersebut dan dihadiri juga raja-raja dari Jawa, Kesultanan dari Sumatera (Deli, Langkat, Serdang), Kerajaan Kutai, dan lain-lain. Tahun 1942, pada saat lawatan YM. Sultan Sy Muhammad Al Qadrie ke Kwitang (Batavia-Jakarta) dalam rangka melaksanakan Salat Idul Adha, beliau juga menggunakan Kain Tenun Corak Insang yang menjadi kebanggaan Kain Tenun Kesultanan Pontianak. Kain tenun, termasuk tenun Corak Insang, mula-mula digunakan oleh kerabat kesultanan. Lambat laun digunakan kalangan bangsawan dan kerabat kerajaan yang memiliki kemampuan lebih. Namun dalam perkembangan berikutnya, kain corak insang khususnya, dipergunakan pula oleh kalangan masyarakat Melayu umumnya.
Dari perkembangan sejarahnya, Kain Tenun Corak Insang seperti yang disebutkan di atas, merupakan pakai khas kerajaan dan menjadi identitas Kesultanan Pontianak saat itu. Tidak kalah menariknya, pakaian ini dipakai saat Hari Raya Idul Adha.
Filosofi Tenun Corak Insang
Aspek Sejarah dari Corak Insang setidaknya meninggalkan kesan filosofis dari tenun tersebut, adapun makna yang ada di dalam Tenun Corak Insang, sepanjang bacaan yang saya dapatkan bahwa filosofi atau makna dari Corak Insang itu sendiri berasal dari Insang Ikan, yang pada dasarnya memiliki arti alat kehidupan, jika insang diperlukan oleh ikan untuk kehidupannya, filosofi yang digunakan adalah merupakan hasil akal-budi yang pada dasarnya untuk menunjang kehidupan. Kemudian mengandung pengertian sebagai bagian dari kehidupan masyarakat pesisir yang mendiami sepanjang aliran Sungai Kapuas yang dikenal luas sebagai nelayan, karena Ikan tidak bisa lepas dari sungai ataupun lautan.
Setidaknya itu adalah dasar filosofis yang menurut saya sendiri merupakan filosofis mendasar dari Kain Corak Insang, sebenarnya ada penelitian dan jurnal-jurnal penelitian yang membahas tentang Corak Insang ini, dan bisa didapatkan dibeberapa tempat seperti e-news, internet, artikel jurnal dan penelitian lainnya.
Eksistensi Tenun Corak Insang di dunia Kontemporer
Meskipun Tenun Corak Insang ini merupakan produk budaya pada abad ke-18 tetapi keberadaannya sekarang ini tak pernah padam, dan masih dilestarikan sampai sekarang. Tenun Corak Insang ini sebetulnya merupakan produk budaya yang dilihat dari aspek etika maupun estetika sangat relevant dengan perkembangan zaman, meskipun ada warna-warna yang berbeda tetapi tidak merubah filosofis yang ada. Untuk mempertahankan eksistensi itu setidaknya, biasa dipakai pada saat acara-acara besar seperti Ulang Tahun Kota Pontianak dan event Kebudayaan lainnya. Bahkan sekarang ini, Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota Pontianak sedang mengadakan Lomba Desain Motif Tenun Corak Insang dan Lomba Desain Masker Corak Insang. Dengan semakin banyak menaikkan kembali budaya lokal, bukan hal yang tidak mungkin Tenun Corak Insang akan terkenal baik secara Nasional maupun Dunia.[]
NOTE
Bagi yang berminat untuk mengikuti Lomba ini silahkan pantau di Instragram Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekrenasda) @dekranasdapontianak dan di Facebook Dekranasda Pontianak*
*Syarat dan ketentuan berlaku
Share this content:
2 comments