Terlambat atau Keterlaluan ? Simpati dan Empati Dalam Menghadapi Bencana
Mengapa Banyak Bencana?
Virus Corona yang sudah menyerang Bumi ini kurang lebih satu tahun lamanya dan tidak luput juga menyerang di Indonesia kira-kira sudah lebih dari 10 bulan dan mencapai satu juta kasus. Belum lagi bencana yang menimpa bumi Indonesia ini seperti jatuhnya Pesawat Sriwijaya Air, Banjir di Kalimantan Selatan, Gempa di bumi Sulawesi, longsor di Sumedang, wafatnya Para Ulama dan beberapa tempat lainnya di Indonesia. Lalu pertanyaan yang sering diungkapkan adalah kapan musibah ini akan berakhir?
Setidaknya itulah pertanyaan yang sering kita ungkapkan. Bagi saya sendiri, kita tidak akan pernah tahu kapan akan berakhir dan mengapa manusia akhir-akhir ini terlambat di dalam pemikirannya tentang mempersiapkan kematian, mungkin sebagian besar manusia itu sendiri terlalu terbiasa dengan penyesalan di akhir. Meskipun penyesalan pada akhir momen merupakan suatu kausalitas yang sangat wajar bagi manusia, tapi jika kita tidak memikirkannya dari awal, mungkin tidak ada yang namanya penyesalan.
Jika itu berkaitan dengan alam mungkin kita bisa pikirkan mengapa alam kita terjadi demikian? Mungkin ada benarnya juga kita keterlaluan dengan alam maupun dengan Sang Pencipta. Bagaimana pun kita mesti membaca dari dua perspektif yang berbeda yaitu Sains dan Agama. Di dalam perspektif Sains, lebih khusus Ilmu Geografi mungkin apa yang kita sebut gempa bumi dan banjir adalah fenomena yang lumrah dan pasti terjadi di Indonesia maupun dunia. Tapi, kita jangan pasrah dengan keadaan karena kita ditakdirkan oleh Tuhan salah satunya untuk menjadi pemelihara.
Simpati dan Empati Terhadap Bencana
Bencana yang menimpa awal tahun 2021 ini, merupakan suatu tragedi yang sangat besar. Biasanya, jika awal tahun kita rayakan dengan semangat baru, tetapi tahun ini akan menjadi pembuka yang sangat kelam karena bencana terus hadir di Indonesia. Namun, yang menjadi pertanyaan bagi kita sekarang adalah apakah kita lebih bersimpati? Orang-orang bisa sangat bersimpati dengan berita tentang bencana saat ini namun terkadang tidak terlalu baik dalam soal empati.
Secara singkatnya, baik simpati dan empati adalah sesuatu yang berbeda simpati menggambarkan perasan belas kasih dan sayang atas kejadian yang menimpa seseorang, sedangkan empati dapat menempatkan diri pada posisi orang tersebut dan berbagi secara langsung kesedihan mereka tersebut. Dari kedua kata tersebut sudah memiliki makna yang berbeda, dan terkadang kita perlu melihat Jepang dalam penanganan bencana.
Di Negara Jepang, postingan mengenai bencana sangat disortir karena ini berdampak pada psikologis dari korban maupun keluarga korban. Mereka tahu bahwa sesungguhnya yang ia butuhkan bukan dikenal tetapi rangkulan dan empati dari banyak orang. Makanya tidak heran, kita tidak pernah melihat sekalipun orang-orang yang di dalam berita tersebut dalam keadaan berduka, tapi mereka dibangkitkan kembali dengan solidaritas Pemerintah dan warga sekitarnya, bukan hanya sekadar kata-kata duka.
Hal ini bisa kita lakukan di sekitar kita, untuk selalu menjaga perasaan dari seseorang yang tertimpa musibah dan bagaimana pun kita menanggapi hal ini, tetaplah yang mereka butuhkan adalah rangkulan tangan dan penyemangat bagi keluarga korban itu sendiri. Semoga Indonesia lekas membaik dan senantiasa bisa menjadi pelajaran bagi kita semua untuk menjadi insan yang peduli dengan keadaan orang lain.[]
Share this content:
Post Comment